.post-thumbnail{float:left;margin-right:20px}

Laman

Senin, 17 September 2012

Sangkakala PDF Print
                                                             

Mungkin kau termasuk orang yang tidak mempercayai keberadaanku? Mau percaya, mau tidak, sebenarnya bagiku itu tak soal. Aku tetaplah aku, makhluk yang telah bersenyawa dengan waktu sehingga tak lagi dapat kau bedakan antara aku dan waktu.


Aku adalah waktu,waktu adalah aku.Itu sebabnya aku bernama Sangkakala. Kau tahu apa arti “sengkala”? Kalaulah telah lupa tak usah repot-repot membuka kamus bahasa Jawa atau membaca seabrek referensi tentang adat dan kebudayaan masyarakat Jawa.Nanti matamu menjadi buta karena aku tahu dari dulu kau tak suka membaca, apalagi bacaanbacaan seperti itu, pasti akan membuatmu pusing kepala.

Untuk mengetahui apa itu arti “sengkala” cukuplah kiranya kau membuka ingatan barang sedikit tentang masa lalumu,tepatnya masa kecilmu saat nenekmu atau kakekmu, atau bapakmu atau ibumu mendongeng tentang sesosok raksasa yang selalu dilanda kelaparan. Raksasa yang terlahir dari sebuah kama salah sang Guru ketika sedang melanglang buana bersama istrinya dengan mengendarai sapi terbang bernama Lembu Andini.

Mungkin karena terhanyut oleh suasana alam yang syahdu, sendu, indah, biru merayu,maka libido sang Guru pun tiba-tiba menggebu dan minta dilayani istrinya pada saat itu juga. Karena merasa tidak pada waktu dan tempat yang tepat,istrinya berusaha menolak. Akibatnya kama sang Guru menghambur dan jatuh di tengah samudra. Kama salah itu pun menjelma raksasa dengan nafsu makan yang bukan alangkepalang besarnya.

Apa saja bisa dimakan. Apa saja bisa dihancurkan seperti api membakar semua benda yang dijumpainya seperti waktu memfanakan segala sesuatu yang ada di dunia. Demikianlah maka kemudian raksasa itu disebut-sebut sebagai Sangkakala. Ya, akulah Sangkakala itu,akulah raksasa itu. Bapakku dewa, ibuku samudra. Aku bengis seperti api, aku kejam seperti waktu, aku liar, karena selalu dihantui rasa lapar.

Hidupku seakan hanya untuk makan,makan,dan makan.Makan apa saja,termasuk sang Guru,rajanya para dewa yang notabene adalah ayahku sendiri.Aku tak peduli. Sayang, ia terlalu pintar untuk menghindar. Bahkan dengan segala siasat ia selalu berupaya menghalangi gerak-gerikku, memagari setiap makanan yang akan kumakan, terutama yang paling kusukai; manusia.

Tak pelak lagi hanya para penyandang sukerta* sajalah yang bisa kujadikan ganjal bagi perut yang selalu minta diisi.Itu pun jika mereka memang tak dapat diselamatkan atau tak dapat dimasukkan kembali ke dalam pagar gaibnya. Tindakannya itu konon dilandasi oleh kekhawatiran seluruh isi jagat raya nanti bisa-bisa habis kumakan semua jika aku diumbar begitu saja. Semula aku merasa diperlakukan tidak adil. Aku lapar dan aku butuh makan, mengapa aku dipersalahkan?

Aku takut akan mati kelaparan.Tapi kemudian aku tidak perlu takut lagi karena para penyandang sukerta itu ternyata banyak sekali dan hanya sedikit yang kemudian bisa dikembalikan ke dalam perlindungan sang Guru. Terlebih di zaman sekarang di mana orang-orang lebih mengagungkan kesenangan duniawi,mereka- mereka ini sungguh merupakan sasaran empuk buat kuremuk.Lihat saja apa yang terjadi pada sebuah keluarga yang anakturunannya baru saja kukunyahkunyah ini.

Bermula dari keberhasilan mengubah nasib buruknya, sepasang suami istri itu sedang terbuai oleh kesuksesan sehingga lupa menyelamatkan kedua anak mereka yang menyandang sukerta; kedhana-kedhini. Sepasang suami-istri itu tampak tenang-tenang saja. Mereka menganggap semuanya baik-baik saja. Mereka sedang di mabuk kemenangan. Ya, kemenangan atas hidupnya, kemenangan melawan nasib buruk yang selama ini seakan mustahil dienyahkan.

Mereka merasa telah membuktikan betapa mereka bisa memerdekakan diri dari kemelaratan yang menakutkan. Karier sama-sama sukses. Sang suami menduduki posisi kepala cabang di sebuah perusahaan multinasional sementara sang istri bekerja di sebuah perusahaan periklanan.Pekerjaan keduanya lancar, penghasilan mengalir terus, rumah megah dengan segala isinya. Anak-anak yang mulai beranjak remaja.

Ya, seakan tak ada lagi yang perlu dikhawatirkan. Juga di saat mereka pulang kerja pukul 9 malam dan mendapati rumah dalam keadaan sepi tanpa penghuni. Mereka tidak mencoba melacak di mana keberadaan putra- putrinya. Mereka malah dengan santai berucap; mungkin mereka sedang belajar kelompok di rumah temannya, atau sedang ngumpul-ngumpul di taman kota, namanya juga anak ABG, biarlah mereka menikmati masa-masa mudanya.

Sepasang suami-istri itu sama sekali tidak mencemaskannya. Mereka merasa telah cukup membekali anak-anak itu dengan moral dan etika walau apa yang mereka lakukan tak lebih dari sekadar menceramahi ini itu saat mereka ngumpul bersama.Mereka terlalu percaya betapa kedua anak itu bisa menjaga diri dan pasti akan pulang pada jam sepuluh nanti, sebagaimana aturan yang mereka terapkan selama ini.

Maka sepasang suami-istri itu pun menikmati waktu luang tanpa ada sesuatu aral yang mengganjal. Sang istri asyik menonton televisi, sementara di tempat itu juga sang suami membolak-balik koran yang tadi pagi belum sempat dia baca.Begitulah aktivitas itu berlanjut sampai mereka harus berangkat tidur. “Kok belum pada pulang, ya?” gumam sang istri ketika ingatannya sejenak melayang pada sang anak. “Mungkin mereka menginap di rumah temannya,” jawab sang suami sekenanya lantaran kantuk sudah sedemikian berkuasa atas dirinya.

Lalu pagi pun merekah pada saat yang semestinya. Sepasang suami-istri itu kembali pada rutinitas seperti biasa, bergegas meninggalkan rumah untuk kembali bergelut dengan setumpuk pekerjaan di kantor masingmasing sampai hari mengulang malam. Mereka baru agak serius mempertanyakan kedua anak itu begitu mendapati rumah masih juga seperti kemarin-kemarin; kosong.

Mereka coba memeriksa kamar kedua anak itu. Tak ada yang berubah. Bahkan yang mengejutkan, ternyata segala peralatan dan seragam sekolah ada di rumah. Jadi anak-anak itu tidak sekolah? Sudah berapa hari mereka membolos? Lantas mereka pergi ke mana? Kalau memang akan pergi jauh dan harus menginap beberapa hari mengapa mereka tidak pamit? Sang istri berinisiatif menelepon anak sulungnya, ternyata hape si sulung tidak aktif.

Begitu pula ketika ia mencoba menghubungi putrinya,yang terdengar cuma ini,“Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau di luar jangkauan.” Suaminya yang terus memeriksa kamar anaknya malah menemukan hape anak-anak itu justru ada di rumah dan dalam keadaan tidak aktif.Lebih mengejutkan lagi ketika memeriksa isi benda itu. Mereka menemukan banyak gambar porno, video cabul, SMS jorok, serta foto-foto tidak senonoh lainnya.

“Kurang ajar.Mereka harus diberi pelajaran.” “Iya,tapi di mana mereka sekarang, kita tak tahu.” “Kamu sih, bukannya mengurus anak-anak malah ikut-ikutan sibuk di luar rumah.” “Heh, kau pikir kalau aku tidak bekerja kita bisa hidup seperti sekarang ini?” “Tapi, apa gunanya kalau anakanak kita menjadi rusak semua?” “Ya jangan cuma nyalahin aku dong! Kau juga punya tanggung jawab mendidik anak” “Brengsek.

Sudah, yang penting sekarang kita cari mereka.” Seketika itu juga sepasang suami istri tersebut memacu mobilnya, berputar- putar mengelilingi kota, mendatangi tempat-tempat nongkrong anak-anak muda, mendatangi tamantaman bermain, tempat-tempat hiburan, mal-mal, restoran-restoran, bar-bar. Namun, mereka tak menemukan apaapa. Juga ketika mereka mencoba menghubungi teman-teman anaknya, baik yang mereka kenal langsung maupun mereka dapatkan nomor dari hape sang anak.

Namun,tak satupun jawaban yang dapat melegakan hati. Dalam amuk resah dan lelah itu akhirnya mereka tertidur di ruang tengah,bergeletakan tak tentu arah bagaikan mayat-mayat yang dibuang di tempat sampah. Ketika pagi kembali merekah.Mereka bangun tanpa gairah.Mereka tak lagi memikirkan pekerjaan.

Mereka tak peduli lagi dengan segala rutinitas dan kesibukan.Yang ada di benak mereka sekarang hanyalah bayangan putra-putrinya; di mana dan sedang apa dan bersama siapa kedua anak itu sehingga lupa pulang beberapa hari belakangan ini? Entah mendapat ilham dari mana,di tengah kebingungan dan lelah yang tak kunjung hilang, tiba-tiba sang suami mencoba menelepon ibunya di kampung.

Ia memang sengaja memfasilitasi ibunya itu dengan hape setelah orangtua yang tinggal satu- satunya tersebut menolak diboyong ke kota.Agar sewaktuwaktu dapat dihubungi,katanya. “Mbok, apakah anak-anak pada main ke situ?” “Tidak ada.” “ Pada ke mana mereka ya? Sudah tiga atau empat hari mereka tak pulang.” “Astaga, jangan-jangan si jahat Sangkakala itu telah berulah.Kamu ini juga yang salah. Sudah berapa kali si Mbok bilang anak-anakmu itu harus segera diruwat.

Sebab, yang namanya saudara sekandung laki-perempuan adalah anak sukerta.Kedhana-kedhini! Mereka akan dimangsa oleh raksasa kejam itu jika tidak segera diruwat.” “Aah,itu lagi,itu lagi.” “Kamu ini membantah melulu jika dituturi orang tua. Ruwatan itu penting buat mengingatkan kita agar selalu waspada dan terus menjaga anak yang berpeluang terkena bahaya.

Kamu sendiri kalau tidak diruwat, belum tentu hidupmu bisa berhasil seperti sekarang.Atau mungkin malah sudah mati. Sebab kamu termasuk anak tunggal, anak ontang-anting, anak yang punya kecenderungan menggantung diri pada orang lain.” Alih-alih mendengarkan kata-kata ibunya, lelaki itu malah meletakkan hape-nya, menguap dan matanya kembali memejam untuk melanjutkan tidur walau sudah tak ada kantuk tersisa.

Ia menganggap kata-kata ibunya tidak berguna,karena itu mengapa tak diabaikan saja. Ya,ya. Itulah yang kusuka.Jika lakilaki itu menuruti kata-kata ibunya, pasti sulit bagiku untuk menjerumuskan mereka ke dalam perangkapku. Jujur saja,orang- orang yang tidak mau tahu, atau memang tidak tahu, atau yang menganggap aku tak ada, sesungguhnya lebih mudah untuk kujadikan korbanku daripada merekamereka yang meyakini keberadaanku.

Sementara sepasang suami-istri yang kehilangan anak-anaknya itu masih bingung dan tak tahu apa yang harus dilakukan. Nun jauh di sebuah kuburan China, orang-orang ramai menurunkan dua mayat yang menggantung pada sebuah pohon asem. Mayat seorang remaja laki-laki dan seorang remaja perempuan yang menggantung diri pada tali yang sama. Orang-orang menduga mereka adalah sepasang kekasih yang sedang putus asa.

Tapi orang-orang itu sama sekali tidak menduga betapa yang mereka sebut sebagai sepasang kekasih itu adalah saudara sekandung, kakakadik. Pun pula orang-orang itu pasti lebih tidak menduga betapa si mayat perempuan telah hamil tiga bulan hasil incestaboo dengan kakaknya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar