.post-thumbnail{float:left;margin-right:20px}

Laman

Minggu, 10 November 2013

Bosan, Remaja Tinggalkan Facebook 


Ilustrasi.
  |Facebook| akhirnya mengakui bahwa para remaja mulai menunjukkan kebosanannya dengan jejaring sosial. Pengakuan ini dilakukan oleh Facebook pada Rabu, 30 Oktober 2013.

Seperti yang dilansir oleh CNet, CFO Facebook David Ebersman mengakui bahwa pengguna Facebook dalam kelompok remaja secara keseluruhan |tidak| tumbuh pada kuartal kedua dan ketiga. Mereka juga melihat adanya penurunan dari penggunaan Facebook sehari-hari oleh para remaja.

Diakuinya juga, Facebook tidak memiliki data yang akurat untuk menghitung jumlah aktivitas |remaja|. Ini karena mereka bisa saja memalsukan data diri.

Meski demikian, Facebook telah mengembangkan metode pengukuran khusus untuk memantau pengguna remaja mereka.

Jumat, 08 November 2013

Ready For Rent : Geophysical Logging Instrument

Perkenalkan...

CV. GEOCROSSLINE adalah perusahaan yang berkembang dan profesional di bidang Jasa Kontraktor dan Konsultan Jasa Pertambangan dan Perdagangan Umum.

Saat ini kami hadir untuk menawarkan

Rabu, 06 November 2013

METODE LOGGING GEOFISIKA PADA EKSPLORASI BATUBARA 1 Pengertian Logging Logging merupakan metode pengukuran besaran-besaran fisik batuan reservoir terhadap kedalaman lubang bor. Loging sumur (well logging) juga dikenal dengan borehole logging adalah cara untuk mendapatkan rekaman log yang detail mengenai formasi geologi yang terpenetrasi dalam lubang bor. Log dapat berupa pengamatan visual sampel yang diambil dari lubang bor (geological log), atau dalam pengukuran fisika yang dieroleh dari respon piranti instrumen yang di pasang didalam sumur (geohysical log). Well loging dapat digunakan dalam bidang eksplorasi minyak dan gas, batubara, air bawah tanah dan geoteknik. Logging sumur adalah

Log Spontaneous Potential

logplotsample16 150x150 Log Spontaneous Potential
Log SP
Log Spontaneous Potential adalah salah satu log yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi litologi lubang sumur. Pada awalnya log ini digunakan untuk membedakan litologi shale atau non shale (bed-boundary identification). Log SP adalah rekaman perbedaan potensial antara elektroda yang bergerak di dalam lubang bor dengan elektroda di permukaan. Karenanya, diperlukan suatu media yang dapat menghantarkan arus listrik di dalam lubang bor. Dalam hal ini, dipakai lumpur yang konduktif.
Penyimpangan SP disebabkan oleh adanya aliran listrik di dalam lumpur. Penyebab utamanya adalah dari dua kelompok tenaga elektromotive di dalam formasi, yaitu komponen elektrokimia dan elektrokinetik, yang berasal dari pemboran lubang yang memberikan

ANTROSPOSFER


Antroposfer adalah salah satu objek material dari geografi yang membahas mengenai persoalan kehidupan manusia.
    Penduduk adalah semua orang yang pada waktu sensus dilaksanakan telah enam bulan lamanya bertempat tinggal di suatu Negara. 

ANTROSPOSFER


Antroposfer adalah salah satu objek material dari geografi yang membahas mengenai persoalan kehidupan manusia.
    Penduduk adalah semua orang yang pada waktu sensus dilaksanakan telah enam bulan lamanya bertempat tinggal di suatu Negara. 

 KECERDASAN MAJEMUK

  Ditahun ajaran baru, seorang guru lebih efektif melakukan tes potensi kecerdasan majemuk. Namun belum semua guru melakukan tes tersebut kepada peserta didiknya. Sebagian menganggap tes tersebut tidak terlalu penting. 


      Tes potensi kecerdasan majemuk merupakan langkah awal seorang guru untuk mengetahui kecerdasan masing-masing peserta didik. Hasil tes tersebut dapat dijadikan data base bagi guru. Dengan demikian guru akan mengetahui apa yang dibutuhkan oleh peserta didiknya. Sebagian besar guru melakukan apa yang mereka kuasai bukan berdasarkan apa yang peserta didiknya butuhkan. Guru harus belajar supaya dapat menguasai dan disesuaikan dengan peserta didiknya. 
METODE LOGGING GEOFISIKA PADA EKSPLORASI BATUBARA 1 Pengertian Logging Logging merupakan metode pengukuran besaran-besaran fisik batuan reservoir terhadap kedalaman lubang bor. Loging sumur (well logging) juga dikenal dengan borehole logging adalah cara untuk mendapatkan rekaman log yang detail mengenai formasi geologi yang terpenetrasi dalam lubang bor
METODE LOGGING GEOFISIKA PADA EKSPLORASI BATUBARA 1 Pengertian Logging Logging merupakan metode pengukuran besaran-besaran fisik batuan reservoir terhadap kedalaman lubang bor. Loging sumur (well logging) juga dikenal dengan borehole logging adalah cara untuk mendapatkan rekaman log yang detail mengenai formasi geologi yang terpenetrasi dalam lubang bor. Log dapat berupa pengamatan visual sampel yang diambil dari lubang bor (geological log), atau dalam pengukuran fisika yang dieroleh dari respon piranti instrumen yang di pasang didalam sumur (geohysical log). Well loging dapat digunakan dalam bidang eksplorasi minyak dan gas, batubara, air bawah tanah dan geoteknik. Logging sumur adalah pengukuran dalam lubang sumur menggunakan instrumen yang ditempatkan pada ujung kabel wireline dalam lubang bor. Sensor yang terletak diujung kabel wireline akan mendeteksi keadaan dalm sumur. Loging sumur dilakukan setelah drill string dikeluarkan dari sumur. Terdapat dua kabel yang terkoneksi dengan permukaan, kedalaman sumur direkam ketika sensor turun dan diangkat kembali untuk memulai pendeteksian. Subset kecil dari data pengukuran dapat ditransmisikan ke permukaan real time menggunakan pressure pulses dalam wells mud fluid colomn. Data telemetri dari dalam tanah mempunyai bandwidth yang kecil kurang dari 100bit per detik, sehingga informasi dapat didapat real time dengan bandwidth yang kecil. 2 Konsep Dasar Logging Seiring dengan meningkatnya ilmu pengetahuan dan teknologi maka hadirlah survey geofisika tahanan jenis yang merupakan suatu metode yang dapat memberikan gambaran susunan dan kedalaman lapisan batuan dengan mengukur sifat kelistrikan batuan. Loke (1999) mengungkapkan bahwa survey geofisika tahanan jenis dapat menghasilkan informasi perubahan variasi harga resistivitas baik arah lateral maupun arah vertical. Metode ini memberikan injeksi listrik ke dalam bumi, dari injeksi tersebut maka akan mengakibatkan medan potensial sehingga yang terukur adalah besarnya kuat arus (I) dan potensial (ΔV), dengan menggunakan survey ini maka dapat memudahkan para geologist dalam melakukan interpretasi keberadaan cebakan-cebakan batubara dengan biaya eksplorasi yang relatif murah. Logging geofisik untuk eksplorasi batubara dirancang tidak hanya untuk mendapatkan informasi geologi, tetapi untuk memperoleh berbagai data lain, seperti kedalaman, ketebalan dan kualitas lapisn batubara, dan sifat geomekanik batuan yang menyertai penambahan batubara. Dan juga mengkompensasi berbagai masalah yang tidak terhindar apabila hanya dilakukan pengeboran, yaitu pengecekan kedalaman sesungguhnya dari lapisan penting, terutama lapisan batubara atau sequence rinci dari lapisan batubara termasuk parting dan lain-lain. 2.1 Log Sinar Gamma Log Sinar Gamma adalah log yang digunakan untuk mengukur tingkat radioaktivitas suatu batuan. Radioaktivitas tersebut disebabkan karena adanya unsur Uraniun, Thorium, Kalium pada batuan. Ketiga elemen ini secara terus menerus memancarkan gamma ray yang memiliki energi radiasi yang tinggi. Kekuatan radiasi sinar gamma yang paling kuat dipancarkan oleh mudstone dan yang paling lemah dipancarkan batubara. Terutama yang dari mudstone laut menunjukan nilai yang ekstra tinggi, sedangkan radiasi dari lapisan sandstone lebih tinggi disbanding batubara. Log sinar gamma dikombinasikan dengan log utama, seperti log densitas, netron dan gelombang bunyi, digunakan untuk memastikan batas antara lapisan penting, seperti antara lapisan batubara dengan langit-langit atau lantai. Skala log gamma ray dalam satuan API unit (APIU). Log gamma ray biasanya ditampilkan pada kolom pertama, bersama – sama dengan kurva SP dan Kaliper. Skala log gamma ray dari kiri ke kanan biasanya 0 – 100 atau 0 – 150 API. Walaupun terdapat juga suatu kasus dengan nilai gamma ray sampai 200 API untuk jenis organic rich shale. Log gamma ray sangat efektif dalam menentukan zona permeable, dengan dasar bahwa elemen radioaktif banyak terkonsentrasi pada shale yang impermeable, dan hanya sedikit pada batuan yang permeable. Pada formasi yang impermeable kurva gamma ray akan menyimpang ke kanan, dan pada formasi yang permeable kurva gamma ray akan menyimpang ke kiri. Log gamma ray memiliki jangkauan pengukuran 6 – 12 in. Dengan ketebalan pengukuran sekitar 3 ft. Pengukuran dilakukan dengan jalan memasukkan alat detektor ke dalam lubang bor. Oleh karena sinar gamma dapat menembus logam dan semen, maka logging gamma ray dapat dilakukan pada lubang bor yang telah dipasang casing ataupun telah dilakukan cementing. Walaupun terjadi atenuasi sinar gamma karena casing dan semen, akan tetapi energinya masih cukup kuat untuk mengukur sifat radiasi gamma pada formasi batuan disampingnya. Formasi yang mengandung unsur-unsur radioaktif akan memancarkan radiasi radioaktif dimana intensitasnya akan di terima oleh detektor dan di catat di permukaan. Untuk memisahkan jenis-jenis bahan radioaktif yang berpengaruh pada bacaan gamma ray dilakukan gamma ray spectroscopy. Karena pada hakikatnya besarnya energy dan intensitas setiap material radioaktif tersebut berbeda-beda. Spectroscopy ini penting dilakukan ketika kita berhadapan dengan batuan non-shale yang memungkinkan untuk memiliki unsur radioaktif, seperti mineralisasi uranium pada sandstone, potassium feldsfar atau uranium yang mungkin terdapat pada coal dan dolomite. Beberapa jenis batuan dapat dikenal dari variasi kandungan fraksi lempungnya, misalnya batu lempung hamper seluruh terdiri dari mineral lempung, batu pasir kwarsa sangat sedikit mengandung mineral lempung, batu lanau cukup banyak mengandung mineral lempung dan sebagainya. Oleh karena itu respo gamma dapat digunakan untuk menafsirkan jenis litologinya. Beberapa contoh batuan sesuai sifat radioaktifnya adalah sebagai berikut: Radioaktifnya sangat rendah Anhidrid, garam, batubara dan nodule silica. Silica yang berlapis mengandung radioaktif lebih tinggi dari berbentuk nodule. Radioaktif rendah Batu gamping murni, dolomite dan batu pasir. Batu gamping dan dolomite yang berwarna gelap lebih tinggi radioaktifnya daripada yang berwarna terang. Radioaktif menengah Arkosa, pelapukan granit, batu lanau, batu gamping lempunagn dan napal. Batu yang berwarna gelap lebih tinggi radioaktifnya daripada yang berwarna terang. Radioaktif sangat tinggi Serpih, batu lempung dan abu gunung api. Tabel 3.1. Karakteristik Respon Sinar Gamma Radioaktif sangat rendah (0 – 32,5 API) Radioaktif rendah (32,5 – 60 API) Radioaktif menengah (60 – 100 API) Radioaktif sangat tinggi (>100 API) AnhidritSalt Batubara BatupasirBatugamping Dolomit ArkoseBatuan granit Lempungan Pasiran gamping Batuan serpihAbu vulkanik bentonit Cara membaca repon gamma untuk mendapatkan batas litologi adalah dengan cara mengambil sepertiga antara respon maksimal dan respon minimal. Cara ini merupakan aturan yang ditara-ratakan untuk mendapat ketelitian batas litologi. Biasanya aturan demikian cukup teliti untuk lapisan batubara yang tidak banyak mengandung lapisan pemisah (parting) di dalamnya. Suatu hal yang perlu diperhatikan untuk dapat mengkorelasi respon gamma dari beberapa lubang bor adalah panjang probe selama pengukuran harus tetap dan kecepatan penaikan probe ari dalam lubang harus tetap. Selain itu perlu pula ditinjau pengarh chasing walaupun kecil akan tetap ada. Sebelum bekerja dengan alat pngukur radiasi gamma harus diadakan kalibrasi alat tersebut terhadap sumber radiasi sinar gamma yang telah diketahui dan pembacaannya disesuaikan dengan selang waktu ynag sesuai. Apabila selang waktu tersebut terlalu cepat respon cenderung menjadi rata dan kurang peka terhadap perubahan litologi yang kecil. Sebaliknya apabila selang waktu tersebut terlalu lambat perbedaan yang kecil terekam pada respon sehingga perbedaan besar sukar terlihat. 2.2 Log Densitas Awalnya penggunaan log ini dipakai dalam industri explorasi minyak sebagai alat bantu interpretasi porositas. Kemudian dalam explorasi batubara malah dikembangkan menjadi unsur utama dalam identifikasi ketebalan bahkan qualitas seam batubara. Dimana rapat masa batubara sangat khas yang hampir hanya setengah kali rapat masa batuan lain pada umumnya. Lebih extrem lagi dalam aplikasinya pada idustri batubara karena sifat fisik ini (rapat masa) hampir linier dengan kandungan abu sehingga pemakaian log ini akan memberikan gambaran khas bagi tiap daerah dengan karakteristik lingkungan pengendapannya. Dalam operasinya logging rapat masa dilakukan dengan mengukur sinar g yang ditembakan dari sumber melewati dan dipantulkan formasi batuan kemudian direkam kembali oleh dua detector yang ditempatkan dalam satu ‘probe’ dengan jarak satu sama lain diatur sedemikan rupa. Kedua detector ’short’ dan ‘long space’ diamankan dari pengaruh sinar g yang datang langsung dari sumber radiasi. Sehingga yang terekam oleh kedua detector hanya sinar yang telah melewati formasi saja. Dalam hal ini efek pemendaran sinar radiasi seperti ditentukan dalam efek pemendaran Compton. Sinar gamma dari sumber radioaktif dipancar oleh tumbukan dengan elektron di dalam lapisan tanah dan energi sinar gamma akan hilang kepada elektron untuk setiap tumbukan (efek compton). Densitas elektron di dalam material sebanding dengan densitas curahan atau massa (bulk or mass density) material. Logging densitas dilakukan untuk mengukur densitas batuan disepanjang lubang bor. Densitas yang diukur adalah densitas keseluruhan dari matriks batuan dan fluida yang terdapat pada pori. Prinsip kerja alatnya adalah dengan emisi sumber radioaktif. Semakin padat batuan semakin sulit sinar radioaktif tersebut ter-emisi dan semakin sedikit emisi radioaktif yang terhitung oleh penerima (counter). Density Log menunjukkan besarnya densitas lapisan yang ditembus oleh lubang bor sehingga berhubungan dengan porositas batuan. Besar kecilnya density juga dipengaruhi oleh kekompakan batuan dengan derajat kekompakan yang variatif, dimana semakin kompak batuan maka porositas batuan tersebut akan semakin kecil. Pada batuan yang sangat kompak, harga porositasnya mendekati harga nol sehingga densitasnya mendekati densitas matrik. Log density adalah kurva yang menunjukkan besarnya densitas “bulk density (rb)” dari batuan yang ditembus oleh lubang bor. Log densitas digunakan untuk mengukur densitas semu formasi menggunakan sumber radioaktif yang ditembakkan ke formasi dengan sinar gamma yang tinggi dan mengukur jumlah sinar gamma rendah yang kembali ke detektor. Karakteristik masing-masing batuan pada log densitas adalah sebagai berikut: Batubara mempunyai densitas yang rendah (1,20 – 1,80 gr/cc) Konglomerat mempunyai densitas menegah (2,25 gr/cc) Mudstone, batupasir, batugamping mempunyai densitas menengah sampai tinggi (2,65 – 2,71 gr/cc) Batuan vulkanik basa dan batuan vulkanik non basa mempunyai densitas tinggi (2,7 – 2,85 gr/cc) Tabel 3.2. Nilai Rapat Massa Batuan Jenis batuan Rapat massa sebenarnya (gr/cc) Rapat massa saat logging (gr/cc) Sandstone 2,650 2,684 Limestone 2,710 2,710 Dolomites 2,870 2,876 Anhidrid 2,960 2,977 Antrasite coal 1,400-1,800 1,355-1,796 Bituminous coal 1,200-1,500 1,173-1,514 3 Perekaman Data Logging Perekaman data logging menggunakan software WellCad. Data logging yang telah diperoleh kemudian dicetak dalam lembaran data logging dimana terdapat nama perusahaan, nomor lubang bor, lokasi pengeboran, jenis log, kedalaman pengeboran, kedalaman alat logging, batas atas logging mulai dieksekusi, batas bawah logging selesai dieksekusi, nama perekam log, nama geologist penanggung jawab serta kedalaman penggunaan chasing. Selain itu lembar data logging juga memuat informasi mengenai grafik hasil pembacaan log gamma dan log densitas yag kemudian dilakukan interpretasi jenis lapisan batuan beserta kedalaman dan ketebalannya. 4 Interpretasi Data Logging Interpretasi didefenisikan sebagai suatu kegiatan untuk menjelaskan arti dari sesuatu. Sedangkan interpretasi log merupakan suatu kegiatan untuk menjelaskan hasi perekaman mengenai berat jenis elektron. Interpretasi log dapat menyediakan jawaban mengenai ketebalan lapisan batubara, kedalamannya, korelasi lapisan batubara, jenis batuan roof (20 cm di atas lapisan batubara), jenis floor (20 cm di bawah lapisan batubara), mengetahui kondisilubang bor dan sebagainya. Log gamma digunakan bersamaan dengan log densitas yang merupakan log geofisika yang utama dalam eksplorasi batubara.
METODE LOGGING GEOFISIKA PADA EKSPLORASI BATUBARA 1 Pengertian Logging Logging merupakan metode pengukuran besaran-besaran fisik batuan reservoir terhadap kedalaman lubang bor. Loging sumur (well logging) juga dikenal dengan borehole logging adalah cara untuk mendapatkan rekaman log yang detail mengenai formasi geologi yang terpenetrasi dalam lubang bor. Log dapat berupa pengamatan visual sampel yang diambil dari lubang bor (geological log), atau dalam pengukuran fisika yang dieroleh dari respon piranti instrumen yang di pasang didalam sumur (geohysical log). Well loging dapat digunakan dalam bidang eksplorasi minyak dan gas, batubara, air bawah tanah dan geoteknik. Logging sumur adalah pengukuran dalam lubang sumur menggunakan instrumen yang ditempatkan pada ujung kabel wireline dalam lubang bor. Sensor yang terletak diujung kabel wireline akan mendeteksi keadaan dalm sumur. Loging sumur dilakukan setelah drill string dikeluarkan dari sumur. Terdapat dua kabel yang terkoneksi dengan permukaan, kedalaman sumur direkam ketika sensor turun dan diangkat kembali untuk memulai pendeteksian. Subset kecil dari data pengukuran dapat ditransmisikan ke permukaan real time menggunakan pressure pulses dalam wells mud fluid colomn. Data telemetri dari dalam tanah mempunyai bandwidth yang kecil kurang dari 100bit per detik, sehingga informasi dapat didapat real time dengan bandwidth yang kecil. 2 Konsep Dasar Logging Seiring dengan meningkatnya ilmu pengetahuan dan teknologi maka hadirlah survey geofisika tahanan jenis yang merupakan suatu metode yang dapat memberikan gambaran susunan dan kedalaman lapisan batuan dengan mengukur sifat kelistrikan batuan. Loke (1999) mengungkapkan bahwa survey geofisika tahanan jenis dapat menghasilkan informasi perubahan variasi harga resistivitas baik arah lateral maupun arah vertical. Metode ini memberikan injeksi listrik ke dalam bumi, dari injeksi tersebut maka akan mengakibatkan medan potensial sehingga yang terukur adalah besarnya kuat arus (I) dan potensial (ΔV), dengan menggunakan survey ini maka dapat memudahkan para geologist dalam melakukan interpretasi keberadaan cebakan-cebakan batubara dengan biaya eksplorasi yang relatif murah. Logging geofisik untuk eksplorasi batubara dirancang tidak hanya untuk mendapatkan informasi geologi, tetapi untuk memperoleh berbagai data lain, seperti kedalaman, ketebalan dan kualitas lapisn batubara, dan sifat geomekanik batuan yang menyertai penambahan batubara. Dan juga mengkompensasi berbagai masalah yang tidak terhindar apabila hanya dilakukan pengeboran, yaitu pengecekan kedalaman sesungguhnya dari lapisan penting, terutama lapisan batubara atau sequence rinci dari lapisan batubara termasuk parting dan lain-lain. 2.1 Log Sinar Gamma Log Sinar Gamma adalah log yang digunakan untuk mengukur tingkat radioaktivitas suatu batuan. Radioaktivitas tersebut disebabkan karena adanya unsur Uraniun, Thorium, Kalium pada batuan. Ketiga elemen ini secara terus menerus memancarkan gamma ray yang memiliki energi radiasi yang tinggi. Kekuatan radiasi sinar gamma yang paling kuat dipancarkan oleh mudstone dan yang paling lemah dipancarkan batubara. Terutama yang dari mudstone laut menunjukan nilai yang ekstra tinggi, sedangkan radiasi dari lapisan sandstone lebih tinggi disbanding batubara. Log sinar gamma dikombinasikan dengan log utama, seperti log densitas, netron dan gelombang bunyi, digunakan untuk memastikan batas antara lapisan penting, seperti antara lapisan batubara dengan langit-langit atau lantai. Skala log gamma ray dalam satuan API unit (APIU). Log gamma ray biasanya ditampilkan pada kolom pertama, bersama – sama dengan kurva SP dan Kaliper. Skala log gamma ray dari kiri ke kanan biasanya 0 – 100 atau 0 – 150 API. Walaupun terdapat juga suatu kasus dengan nilai gamma ray sampai 200 API untuk jenis organic rich shale. Log gamma ray sangat efektif dalam menentukan zona permeable, dengan dasar bahwa elemen radioaktif banyak terkonsentrasi pada shale yang impermeable, dan hanya sedikit pada batuan yang permeable. Pada formasi yang impermeable kurva gamma ray akan menyimpang ke kanan, dan pada formasi yang permeable kurva gamma ray akan menyimpang ke kiri. Log gamma ray memiliki jangkauan pengukuran 6 – 12 in. Dengan ketebalan pengukuran sekitar 3 ft. Pengukuran dilakukan dengan jalan memasukkan alat detektor ke dalam lubang bor. Oleh karena sinar gamma dapat menembus logam dan semen, maka logging gamma ray dapat dilakukan pada lubang bor yang telah dipasang casing ataupun telah dilakukan cementing. Walaupun terjadi atenuasi sinar gamma karena casing dan semen, akan tetapi energinya masih cukup kuat untuk mengukur sifat radiasi gamma pada formasi batuan disampingnya. Formasi yang mengandung unsur-unsur radioaktif akan memancarkan radiasi radioaktif dimana intensitasnya akan di terima oleh detektor dan di catat di permukaan. Untuk memisahkan jenis-jenis bahan radioaktif yang berpengaruh pada bacaan gamma ray dilakukan gamma ray spectroscopy. Karena pada hakikatnya besarnya energy dan intensitas setiap material radioaktif tersebut berbeda-beda. Spectroscopy ini penting dilakukan ketika kita berhadapan dengan batuan non-shale yang memungkinkan untuk memiliki unsur radioaktif, seperti mineralisasi uranium pada sandstone, potassium feldsfar atau uranium yang mungkin terdapat pada coal dan dolomite. Beberapa jenis batuan dapat dikenal dari variasi kandungan fraksi lempungnya, misalnya batu lempung hamper seluruh terdiri dari mineral lempung, batu pasir kwarsa sangat sedikit mengandung mineral lempung, batu lanau cukup banyak mengandung mineral lempung dan sebagainya. Oleh karena itu respo gamma dapat digunakan untuk menafsirkan jenis litologinya. Beberapa contoh batuan sesuai sifat radioaktifnya adalah sebagai berikut: Radioaktifnya sangat rendah Anhidrid, garam, batubara dan nodule silica. Silica yang berlapis mengandung radioaktif lebih tinggi dari berbentuk nodule. Radioaktif rendah Batu gamping murni, dolomite dan batu pasir. Batu gamping dan dolomite yang berwarna gelap lebih tinggi radioaktifnya daripada yang berwarna terang. Radioaktif menengah Arkosa, pelapukan granit, batu lanau, batu gamping lempunagn dan napal. Batu yang berwarna gelap lebih tinggi radioaktifnya daripada yang berwarna terang. Radioaktif sangat tinggi Serpih, batu lempung dan abu gunung api. Tabel 3.1. Karakteristik Respon Sinar Gamma Radioaktif sangat rendah (0 – 32,5 API) Radioaktif rendah (32,5 – 60 API) Radioaktif menengah (60 – 100 API) Radioaktif sangat tinggi (>100 API) AnhidritSalt Batubara BatupasirBatugamping Dolomit ArkoseBatuan granit Lempungan Pasiran gamping Batuan serpihAbu vulkanik bentonit Cara membaca repon gamma untuk mendapatkan batas litologi adalah dengan cara mengambil sepertiga antara respon maksimal dan respon minimal. Cara ini merupakan aturan yang ditara-ratakan untuk mendapat ketelitian batas litologi. Biasanya aturan demikian cukup teliti untuk lapisan batubara yang tidak banyak mengandung lapisan pemisah (parting) di dalamnya. Suatu hal yang perlu diperhatikan untuk dapat mengkorelasi respon gamma dari beberapa lubang bor adalah panjang probe selama pengukuran harus tetap dan kecepatan penaikan probe ari dalam lubang harus tetap. Selain itu perlu pula ditinjau pengarh chasing walaupun kecil akan tetap ada. Sebelum bekerja dengan alat pngukur radiasi gamma harus diadakan kalibrasi alat tersebut terhadap sumber radiasi sinar gamma yang telah diketahui dan pembacaannya disesuaikan dengan selang waktu ynag sesuai. Apabila selang waktu tersebut terlalu cepat respon cenderung menjadi rata dan kurang peka terhadap perubahan litologi yang kecil. Sebaliknya apabila selang waktu tersebut terlalu lambat perbedaan yang kecil terekam pada respon sehingga perbedaan besar sukar terlihat. 2.2 Log Densitas Awalnya penggunaan log ini dipakai dalam industri explorasi minyak sebagai alat bantu interpretasi porositas. Kemudian dalam explorasi batubara malah dikembangkan menjadi unsur utama dalam identifikasi ketebalan bahkan qualitas seam batubara. Dimana rapat masa batubara sangat khas yang hampir hanya setengah kali rapat masa batuan lain pada umumnya. Lebih extrem lagi dalam aplikasinya pada idustri batubara karena sifat fisik ini (rapat masa) hampir linier dengan kandungan abu sehingga pemakaian log ini akan memberikan gambaran khas bagi tiap daerah dengan karakteristik lingkungan pengendapannya. Dalam operasinya logging rapat masa dilakukan dengan mengukur sinar g yang ditembakan dari sumber melewati dan dipantulkan formasi batuan kemudian direkam kembali oleh dua detector yang ditempatkan dalam satu ‘probe’ dengan jarak satu sama lain diatur sedemikan rupa. Kedua detector ’short’ dan ‘long space’ diamankan dari pengaruh sinar g yang datang langsung dari sumber radiasi. Sehingga yang terekam oleh kedua detector hanya sinar yang telah melewati formasi saja. Dalam hal ini efek pemendaran sinar radiasi seperti ditentukan dalam efek pemendaran Compton. Sinar gamma dari sumber radioaktif dipancar oleh tumbukan dengan elektron di dalam lapisan tanah dan energi sinar gamma akan hilang kepada elektron untuk setiap tumbukan (efek compton). Densitas elektron di dalam material sebanding dengan densitas curahan atau massa (bulk or mass density) material. Logging densitas dilakukan untuk mengukur densitas batuan disepanjang lubang bor. Densitas yang diukur adalah densitas keseluruhan dari matriks batuan dan fluida yang terdapat pada pori. Prinsip kerja alatnya adalah dengan emisi sumber radioaktif. Semakin padat batuan semakin sulit sinar radioaktif tersebut ter-emisi dan semakin sedikit emisi radioaktif yang terhitung oleh penerima (counter). Density Log menunjukkan besarnya densitas lapisan yang ditembus oleh lubang bor sehingga berhubungan dengan porositas batuan. Besar kecilnya density juga dipengaruhi oleh kekompakan batuan dengan derajat kekompakan yang variatif, dimana semakin kompak batuan maka porositas batuan tersebut akan semakin kecil. Pada batuan yang sangat kompak, harga porositasnya mendekati harga nol sehingga densitasnya mendekati densitas matrik. Log density adalah kurva yang menunjukkan besarnya densitas “bulk density (rb)” dari batuan yang ditembus oleh lubang bor. Log densitas digunakan untuk mengukur densitas semu formasi menggunakan sumber radioaktif yang ditembakkan ke formasi dengan sinar gamma yang tinggi dan mengukur jumlah sinar gamma rendah yang kembali ke detektor. Karakteristik masing-masing batuan pada log densitas adalah sebagai berikut: Batubara mempunyai densitas yang rendah (1,20 – 1,80 gr/cc) Konglomerat mempunyai densitas menegah (2,25 gr/cc) Mudstone, batupasir, batugamping mempunyai densitas menengah sampai tinggi (2,65 – 2,71 gr/cc) Batuan vulkanik basa dan batuan vulkanik non basa mempunyai densitas tinggi (2,7 – 2,85 gr/cc) Tabel 3.2. Nilai Rapat Massa Batuan Jenis batuan Rapat massa sebenarnya (gr/cc) Rapat massa saat logging (gr/cc) Sandstone 2,650 2,684 Limestone 2,710 2,710 Dolomites 2,870 2,876 Anhidrid 2,960 2,977 Antrasite coal 1,400-1,800 1,355-1,796 Bituminous coal 1,200-1,500 1,173-1,514 3 Perekaman Data Logging Perekaman data logging menggunakan software WellCad. Data logging yang telah diperoleh kemudian dicetak dalam lembaran data logging dimana terdapat nama perusahaan, nomor lubang bor, lokasi pengeboran, jenis log, kedalaman pengeboran, kedalaman alat logging, batas atas logging mulai dieksekusi, batas bawah logging selesai dieksekusi, nama perekam log, nama geologist penanggung jawab serta kedalaman penggunaan chasing. Selain itu lembar data logging juga memuat informasi mengenai grafik hasil pembacaan log gamma dan log densitas yag kemudian dilakukan interpretasi jenis lapisan batuan beserta kedalaman dan ketebalannya. 4 Interpretasi Data Logging Interpretasi didefenisikan sebagai suatu kegiatan untuk menjelaskan arti dari sesuatu. Sedangkan interpretasi log merupakan suatu kegiatan untuk menjelaskan hasi perekaman mengenai berat jenis elektron. Interpretasi log dapat menyediakan jawaban mengenai ketebalan lapisan batubara, kedalamannya, korelasi lapisan batubara, jenis batuan roof (20 cm di atas lapisan batubara), jenis floor (20 cm di bawah lapisan batubara), mengetahui kondisilubang bor dan sebagainya. Log gamma digunakan bersamaan dengan log densitas yang merupakan log geofisika yang utama dalam eksplorasi batubara.

Rabu, 13 Maret 2013

BAB. 2 FAKTOR LINGKUNGAN DALAM EKOLOGI TUMBUHAN A. PENDAHULUAN A.1. Pengertian Faktor Lingkungan Faktor lingkungan adalah setiap faktor yang berpengaruh pada kehidupan pada suatu organisme dalam proses perkembangannya. Faktor lingkungan dibagi menjadi 3 yaitu yang bersifat fisik, kimiawi dan biologis. Faktor fisik dan kimiawi merupakan faktor lingkungan yang bersifat non-biologis, contoh faktor fisik : suhu, cahaya, kelembaban, angin dll, contoh faktor kimiawi : air, garam mineral, logam dll, sedangkan faktor yang bersifat biologis (biotik), yaitu organisme yang berpengaruh terhadap organisme lain. Tumbuhan dan hewan dalam ekosistem merupakan bagian komponen biotik, kompo-nen ini akan menyesuaikan diri terhadap kondisi lingkungan tertentu. Dalam hal ini tidak ada organisme yang mampu berdiri sendiri tanpa dipengaruhi oleh kondisi ling-kungan yang ada, dan harus ada kondisi lingkungan tertentu yang berperan terhadap-nya dan menentukan kondisi hidupnya. A. 2. Komponen Faktor Lingkungan Lingkungan merupakan kompleks dari berbagai faktor yang saling berinteraksi satu sama lainnya, tidak hanya antara faktor biotik dan non-biotik, tetapi juga antara bio-tik itu sendiri dan juga antara abiotik dengan abiotik. Dengan demikian secara opera-sional sulit untuk memisahkan satu faktor dengan faktor terhadap faktor-faktor yang lainnya tanpa mempengaruhi kondisi seluruhnya. Meskipun demikian untuk memaha-mi sruktur atau berfungsinya faktor lingkungan ini, secara abstrak kita bisa membagi faktor-faktor lingkungan ini terhadap komponennya. Berbagai cara dilakukan oleh para ahli ekologi dalam pembagian komponen lingkungan ini, salah satunya adalah pemba-gian komponen lingkungan ini, seperti dibawah ini. a. Faktor iklim, meliputi parameter iklim utama seperti cahaya, suhu, ketersediaan air, dan angin. b. Faktor tanah, merupakan karakteristik dari tanah seperti nutrisi tanah, reaksi tanah, kadar air tanah, dan kondisi fisik tanah. c. Faktor topografi, meliputi pengaruh dari bentuk tanah antara lain seperti sudut ke-miringan lahan dan ketinggian tempat dari permukaan laut. d. Faktor biotik, merupakan gambaran dari semua interaksi dari organisme hidup se-perti kompetisi, peneduhan dan lain-lain. A. 3. Hubungan antara faktor lingkungan Telah dipahami bahwa dalam kajian ekosistem adalah penting untuk menganali-sis bagaimana faktor-faktor lingkungan beroperasi atau berfungsi. Dalam kenyataannya telah dipahami bahwa faktor-faktor lingkungan saling berinteraksi satu sama lainnya, sehingga sangat sulit untuk memisahkan pengaruh hanya dari satu faktor lingkungan-nya. Sebagai contoh bahwa kedua faktor iklim dan topografi akan mempengaruhi per-kembangan suatu tanah. Demikian juga iklim tanah akan berpengaruh secara kuat da-lam pola kontrolnya terhadap komponen biotik, menentukan jenis-jenis yang akan mampu menempati suatu tempat atau daerah tertentu. Meskipun demikian karakteristik mendasar dari ekosistem apapun akan ditentukan atau diatur oleh komponen biotiknya. Pengaruh dari variabel abiotik akan dimodifikasi oleh tumbuhan dan hewan, misalnya terciptanya perlingdungan oleh pohon meskipun sifatnya terbatas. Faktor-faktor abiotik merupakan penentu secara mendasar terhadap ekosistem, sedangkan kontrol faktor biotik setidaknya tetap menjadi penting dalam mempengaruhi penyebaran dan fungsi individu dalam jenis makhluk hidup. Semua faktor lingkungan bervariasi secara ruang dan waktu. Organisme hidup bervariasi terhadap variasi lingkungan ini, sehingga hu-bungan ini akan mebentuk komunitas dan ekosistem tertentu, baik berdasarkan ruang dan waktu. B. HUKUM MINIMUM DAN HUKUM TOLERANSI B. 1. Hukum minimum Dalam tahun 1840 Justus Von Liebig, seorang pakar kimia dari Jerman, mem-prakarsai satu kajian dalam pengaruh berbagai faktor terhadap per-tumbuhan tanaman. Leibig berpendapat bahwa hasil dari suatu panen tanaman sering dibatasi oleh nutrisi yang diperlukan dalam jumlah yang banyak seperti karbon dan air. Leibig menemukan bahwa kekurangan fosfor sering kali merupakan faktor yang membatasi pertumbuhan tanaman tersebut. Penemuan ini membawa pada pemikiran bahwa adanya faktor pe-nentu yang mungkin membatasi produktifitas tanaman. Pemikirannya ini kemudian di-kembangkan menjadi hukum yang terkenal dengan “Hukum Minimum”, yang dinyata-kan sebagai berikut: pertumbuhan dari tanaman tergantung pada sejumlah bahan ma-kanan yang berada dalam kuantitas terbatas atau sedikit sekali. Hukum minimum hanya berperan dengan baik untuk materi kimia yang diperlu-kan untuk pertumbuhan dan reproduksi. Liebig tidak mempertimbangkan peranan faktor lainnya, namun kemudian para peneliti lainnya mengembangkan pertanyaannya yang menyangkut faktor suhu dan cahaya. Sebagai hasilnya mereka menambahkan dua pertanyaan, yaitu:  Hukum ini berlaku hanya dalam kondisi keseimbangan yang dinamis (steady state). Apabila masukan dan keluaran energi dan materi dari ekosistem tidak berada pada keseimbangan, jumlah berbagai substansi yang diperlukan akan berubah terus dan hukum minimum tidak berlaku.  Hukum minimum harus memperhatikan juga adanya interaksi diantara faktor-faktor lingkungan. Konsentrasi yang tinggi atau ketersediaan yang melimpah dari suatu substansi mungkin akan mempengaruhi laju pemakaian dari substansi lain dalam jumlah yang minimum. Sering juga terjadi organisasi hidup memanfaatkan unsur kimia tambahan yang mirip dengan yang diperlukan yang ternyata tidak ada di habitatnya. B. 2. Hukum Toleransi dari Shelford Salah satu perkembangan yang paling berarti dalam kajian faktor lingkungan terjadi pada tahun 1913 ketika Victor Shelford mengemukakan hukum toleransi, yang menyatakan bahwa untuk setiap faktor lingkungan suatu jenis mempunyai suatu kondisi minimum dan maksimum yang dapat dipikulnya, diantaranya kedua harga ekstrim ini me-rupakan kisaran toleransi dan termasuk kondisi optimum. Kisaran toleransi dapat dinyatakan dalam bentuk kurva lonceng, dan akan ber-beda untuk setiap jenis terhadap faktor lingkungan yang sama atau mempunyai kurva yang berbeda untuk satu jenis organisme terhadap faktor-faktor lingkungan yang ber-beda. Misalnya jenis A mungkin mempunyai batas kisaran yang lebih luas terhadap suatu suhu tetapi mempunyai kisaran yang sempat terhadap kondisi tanah. Untuk memberikan gambaran terhadap kisaran toleransinya ini, biasanya dipa-kai awalan steno(kisaran toleransi sempit), diawali yuri(kisaran toleransi luas). Shelford menyatakan bahwa jenis yang kisaran toleransi yang luas untuk berbagai faktor lingku-ngan akan menyebar secara luas, dan menambahkan bahwa dalam fase reproduksi da-ri daur hidup tumbuhan maka faktor-faktor lingkungan lebih membatasi: biji, telur, em-brio mempunyai kisaran yang sempit jika dibandingkan dengan fasa dewasanya. Hasil penelitian Shelford telah memberikan dorongan dalam kajian berbagai ekologi toleransi. Berbagai percobaan dilakukan di laboratorium untuk mendapatkan atau menentukan kisaran toleransi dari individu suatu jenis makhluk hidup terhadap berbagai faktor lingkungan. Hasilnya sangat berguna untuk aspek-aspek terapan, se-perti menentukan toleransi jenis terhadap pencemaran air yang sedikit banyak akan memberikan gambaran dalam hal penyebaran tersebut. Shelford sendiri memberikan penjelasan dalam hukumnya bahwa reaksi suatu organisme terhadap faktor lingkungan tertentu mempunyai hubungan yang erat dengan kondisi lingkungan yang lainnya, misalnya apabila nitrat dalam tanah terbatas jumlahnya maka resistensi rumput terha-dap kekeringan akan menurun. Dengan demikian ia juga sudah memberikan gambar-an bahwa adanya kemungkinan yang tidak menyeluruh hasil penelitian di laboratorium (kondisi buatan) yang memperlihatkan hubungan antara satu faktor lingkungan dengan organisme hidup. Shelford juga melihat kenyataan bahwa sering organisme hidup, tum-buh-tumbuhan dan hewan-hewan, hidup berada pada kondisi yang tidak optimal. Me-reka berada dalam kondisi yang tidak optimal ini akibat kompetisi dengan yang lain-nya, sehingga berada pada keadaan yang lebih efektif dalam kehidupannya. Misalnya berbagai kehidupan tumbuh-tumbuhan di padang pasir sesungguhnya akan tumbuh lebih baik di tempat yang lembab, tetapi mereka memilih padang pasir karena adanya keuntungan ekologi yang lebih. Demikian juga dengan anggrek sebenarnya kondisi optimalnya berada pada keadaan penyinaran yang langsung, tetapi mereka hidup di bawah naungan karena faktor kelembaban sangat lebih menguntungkan. C. KONSEP FAKTOR PEMBATAS Meskipun hukum Shelford ini pada dasarnya benar, tetapi sekarang para pakar ekologi berpendirian bahwa pendapat ini terlalu kaku. Akan lebih bermanfaat apabila menggabungkan konsep minimum dengan konsep toleransi untuk mendapatkan gam-baran yang lebih umum. Hal ini didasar-kan kenyataan gambaran yang lebih umum lagi. Hal ini di dasarkan kenyataan bahwa kehadiaran dan keberhasilan dari organisme hidup itu tergantung pada kondisi-kondisi yang tidak sederhana. Organisme hidup di alam dikontrol tidak hanya oleh suplai materi yang minimum diperlukan tetapi juga oleh faktor-faktor lainnya yang keadaan kritis. Faktor apapun yang kurang atau melebihi batas toleransinya mungkin akan merupakan pembatas dalam per-ubahan jenis. Memang sulit untuk menentukan dialam faktor-faktor pembatas ini, karena masalah yang erat kaitannya dengan pemisahan pengaruh setiap komponen lingkungan secara terpisah dihabitatnya. Nilai lebih dari penggabungan konsep faktor pembatas adalah dalam memberikan pola atau arahan dalam kajian hubungan-hubungan yang kompleks dari faktor lingkungan ini. Para pakar ekologi sekarang menyadari bahwa terlalu banyak perha-tian yang ditujukan pada kajian kisaran toleransi dan faktor-faktor pembatas itu sendiri. Kajian hendaknya diarahkan untuk mempelajari bagaimana tumbuhan dan hewan berkem-bang untuk menguasai habitat tertentu dan meng-hasilkan kisaran toleransi-toleransi terhadap faktor-faktor lingkungan untuk mempertahankan diri. Kajian ekologi toleransi yang didasarkan oleh pemi-kiran Liebig dan Shelford pada umumnya tidak menjawab pertanyaan menda-sar ekologi, bagaimana jenis-jenis teradaptasi terhadap beberapa faktor pembatasnya. Pandangan ekologi yang lebih berkembang adalah memikir-kan perkembangan jenis untuk mencapai suatu kehidupan dengan perhatik-an kisaran toleransi sebagai hasil sampingan dari persyaratan yang dipilih dalam pola kehidupan. Pendekatan ini menekankan pentingnya evolusi yang membawa pergantian yang lebih baik hubungannya antara individual suatu jenis dengan habitatnya. D. FAKTOR LINGKUNGAN 1.CAHAYA Cahaya merupakan faktor lingkungan yang sangat penting sebagai sumber energi utama bagi ekosistem, struktur dan fungsi dari ekosistem utamanya sangat ditentukan oleh radiasi matahari yang sampai di sistem ekologi tersebut, tetapi radiasi yang berlebihan dapat pula menjadi faktor pembatas, menghancurkan sistem jaringan tertentu. Ada tiga aspek penting yang perlu dibahas dari faktor cahaya ini, yang erat kaitannya dengan sistem ekologi, yaitu : a. Kualitas cahaya atau komposisi panjang gelombang. b. Intesitas cahaya atau kandungan energi cahaya. c. Lama penyinaran, seperti panjang hari jumlah jam cahaya yang bersinar setiap hari. Variasi dari ketiga parameter tadi akan menentukan berbagai proses fisiologi dan morfologi dari tumbuhan. Memang pada dasarnya pengaruh dari penyinaran sering berkaitan erat dengan faktor-faktor lainnya seperti suhu dan suplai air, tetapi pe-ngaruh yang khusus sering merupakan pengen-dali yang sangat penting dalam ling-kunganya. 1. a. Kualitas Cahaya Radiasi matahari secara fisika merupakan gelombang elektromagnetik dengan panjang gelombang. Tidak semua gelombang tadi dapat menembus lapisan atas at-mosfer mencapai permukaan bumi. Yang dapat mencapai permukaan bumi ini adalah gelombang dengan ukuran 0,3 - 10 mikron. Gelombang yang dapat terlihat oleh mata berkisar 0,39 - 7,60 mikron, sedangkan gelombang di bawah 0,39 merupakan ultraviolet (gelombang pendek) dan gelombang di atas 7,60 mikron merupakan infrared/merah panjang (gelom-bang panjang). Umumnya kualitas cahaya bukan merupakan faktor ekologi yang penting. Meskipun demikian telah dipahami adanya respon kehidupan terhadap berbagai panjang gelombang cahaya ini. Umumnya tumbuhan teradaptasi untuk mengelola cahaya dengan pan-jang gelombang 0,39 - 7,60 mikron. Ultraviolet dan infrared tidak dimanfaat-kan dalam pro-ses fotosintesis. Klorofil yang berwarna hijau mengabsorbsi cahaya merah dan biru, dengan demikian panjang gelombang itulah yang merupakan bagian dari spektrum cahaya yang bermanfaat bagi fotosintesis. Di ekosistem daratan kualitas cahaya tidak mempunyai variasi yang berarti untuk mempengaruhi fotosintesis, kecuali bila kanopi vegetasi menyerap sejumlah cahaya, maka cahaya yang sampai di dasar akan jauh ber-beda dengan cahaya yang sampai di kanopi, sehingga terjadi pengurangan cahaya merah dan biru. Dengan demikian tumbuhan yang hidup di bawah naungan kanopi harus teradaptasi dengan kondisi cahaya yang rendah energinya. Dalam ekosistem perairan cahaya merah dan biru di serap fitoplankton yang hidup di permukaan, se-hingga cahaya hijau akan di penetrasikan ke lapisan lebih bawah dan sulit untuk di serap oleh fitoplankton. Ganggang merah de-ngan pigmen tambahan phycoerythrin atau pigmen merah coklat mampu mengabsorbsi cahaya hijau ini untuk fotosintesisnya, dengan demikian gang-gang merah ini mampu hidup pada kedalaman laut. Pengaruh dari cahaya ultraviolet terhadap tumbuhan masih belum je-las, yang terang cahaya ini dapat merusak atau membunuh bakteri dan juga di pahami mampu mempengaruhi perkembangan tumbuhan menjadi ter-hambat pertumbuhannya. Umumnya gelombang-gelombang pendek dari ra-diasi matahari terabsorbsi di bagian atas atmosfer sehingga hanya sebagian kecil yang mampu sampai di permukaan bumi. Dengan demikian pengaruh ultraviolet ini akan terjadi dan sangat terasa di daerah pegunungan yang tinggi. Bentuk-bentuk daun yang roset merupakan karakteristika di daerah pegunungan, hal ini merupakan hasil penyinaran ultraviolet dan mengham-bat untuk terjadinya batang yang panjang. Juga di perkirakan ultraviolet dapat mencegah berbagai jenis tumbuhan untuk bermigrasi, dengan demi-kian cahaya ultraviolet berfungsi sebagai agen dalam menentukan penye-baran tumbuhan. 1. b. Cahaya optimal bagi tumbuhan Proses pertumbuhan dari tumbuhan hasil fotosintesis yang melebihi kebutuhan respirasi. Jadi kebutuhan minimum cahaya untuk proses pertum-buhan ini baru terpenuhi ini baru terpenuhi apabila cahaya melebihi titik kompensasinya. Umumnya tumbuhan intesitas cahaya optimum untuk fotosin-tesis haruslah lebih kecil dari intesitas cahaya matahari penuh apabila ditinjau dari sudut kebutuhan daun secara individual. Meskipun demikian bila suatu tumbuhan besar hidup pada cahaya yang penuh seba-gian besar dari dedaunannya tidak dapat menerima cukup cahaya matahari untuk foto-sintesis secara maksimal akibat tertutup dedaunan dipermukaan kanopinya. Cahaya matahari penuh akan menguntungkan bagi daun di bawah kanopi untuk mencapai efektifitas fotosintesis secara total bagi tumbuhan untuk mengim-bangi kekurangan dari daun-daun yang berada dalam cahaya supraoptimal. Intensitas cahaya optimum bagi tumbuhan yang hidup dihabitat alami janganlah diartikan betul-betul cahaya optimal untuk fotosintesis. Pada umumnya cahaya matahari itu terlalu kuat atau terlalu lemah ba-gi organ-organ fotositesis unuk difotosintesis. Optimum haruslah diartikan bahwa kom-binasi dari faktor-faktor lingkungan lainnya (konsep holosinotik), akan memberikan pengaruh bersih dari kondisi cahaya dalam suatu periode tertentu lebih baik untuk pro-ses fotosintesis di bandingkan dengan keadaan lainnya. 1. c. Intensitas cahaya Intensitas cahaya atau kandungan energi merupakan aspek cahaya yang ter-penting sebagai faktor lingkungan, karena berperan sebagai tenaga pengendali utama dari ekosistem. Intensitas cahaya ini sangat bervariasi baik dalam ruang/ spasial mau-pun dalam waktu/temporal. Radiasi matahari yang sampai dan menembus atmosfer bumi akan terapsorsi dan terrefleksi atau terhamburkan oleh gas-gas dan partikel-parti-kel yang dikandungkan. Intensitas cahaya yang tersebar terjadi didaerah tropika, ter-utama daerah kering (zona arid), sedikit cahaya direfleksikan oleh awan. Di daerah ga-ris lintang rendah cahaya matahari menembus atmosfer dan membentuk sudut yang besar dengan permukaan bumi, sehingga lapisan atmosfer yang tertembus berada dalam ketebalan minimum. Intensitas cahaya menurun secara cepat dengan naiknya garis lintang. Pada ga-ris lintang yang tinggi matahari berada pada sudut yang rendah terhadap permukaan bumi dan juga permukaan atmosfer, dengan demikian sinar menembus lapisan atmos-fer yang terpanjang, ini akan memgakibatkan lebih banyak cahaya yang direfleksikan dan dihamburkan oleh lapisan awan dan pencemaran di atmosfer. Perbedaan musim juga mempengaruhi intensitas cahaya didaerah dengan latituda tinggi ini, intensitas pada musim panas jauh berbeda dengan intensitas pada musim dingin. Variansi intensitas cahaya dalam skala besar akan dimodifiksikan lagi oleh faktor topografi. Sudut dan arah kemiringgan akan sangat berpengaruh terhadap jumlah cahaya yang sampai di permukaan bumi atau ekosistem, hal ini akan lebih terasa untuk daerah-daerah di garis lintang tinggi, sehinga dapat menghasilkan perbedaan struktur ekosis-tem. 1. d. Titik kompensasi Dengan tujuan menghasilkan produktifitas bersih, tumbuhan harus menerima sejumlah cahaya yang cukup untuk membentuk karbohidrat yang memadai dalam mengimbangi kehilangan sejumlah karbohidrat akibat res-pirasi. Apabila semua faktor-faktor lainnya yang mempengaruhi laju fotosin-tesis dan respirasi diasumsikan konstan, keseimbangan antara ke dua pro-ses tadi akan tercapai pada sejumlah intensitas cahaya tertentu. Harga inten-sitas cahaya dengan laju fotosintesis (pembentukkan karbohidrat) dapat me-ngimbangi kehilanggan karbohidrat akibat respirasi dikenal sebagai titik kompensasi. Titik ini menggambarkan intensitas cahaya yang memadai untuk terjadinya fotosintesis, dan merupakan intensitas cahaya minimum yang pen-ting untuk pertumbuhan. Harga titik kompetesi ini akan berlainan untuk seti-ap jenis tumbuhan. 1. e. Heliofita dan Siofita Tumbuhan yang teradaptasi untuk hidup pada tempat-tempat dengan intesitas cahaya yang tinggi biasa disebut tumbuhan dengan intensitas cahaya yang tinggi biasa disebut tumbuhan holifita. Merupakan tumbuhan yang senang dengan cahaya yang tinggi isensitasnya dan mempunyai titik kompensasi yang tinggi pula. Dalam tubuhnya mempunyai sistem kimia yang aktif untuk membentuk karbohidrat dan juga membong-karnya dalam respirasi. Sebaliknya tumbuhan yang hidup baik dalam situasi jumlah cahaya yang rendah, dengan titik kompensasi yang rendah pula, dikenal dengan tumbuhan senang keteduhan atau siofita, metobolismenya lambat dan demikian juga proses respirasinya. Titik kompensasinya heliofita dapat mencapai setinggi 4.200 luks tetapi untuk tumbuhan yang hidup di tempat teduh (siofita) titik kompensasinya bisa serendah 27 luks. Bahkan ganggang yang hidup dalam perairan dalam dan ganggang serta lumut yang hidup di gua-gua dapat tumbuh dengan intensitas cahaya yang lebih lemah sampai tidak melebihi cahaya bulan. Beberapa jenis tumbuhan mempunyai ka-rakteristik siofita ketika masih muda, yang kemudian berkembang ke karakteristik heliofita apabila telah dewasa. Hal ini biasanya terjadi pada pohon-pohon dengan anakannya yang harus tahan hidup di bawah peneduhan. Pada dasarnya kaitan antara besar penyinaran denga laju fotosintesis merupakan pangkal dari perbedaan heliofita dengan siofita ini. Dalam hal ini peranan pembentukan pigmen hijau serta klorofil sa-ngat erat kaitannya dengan intensitas cahaya tadi. Pada tempatdengan penyinaran yang penuh, cahaya berkecenderungan untuk merusak atau menghancurkan klorofil ini. Dengan demikian kemampuan yang tinggi dalam pembentukan klorofil ini adalah mutlak diperlukan bagi tumbuhan yang hidup ditempat terbuka. Apabila tumbuhan tidak mampu menghasilkan klorofil untuk mengimbangi klorofil yang hancur (akibat cahaya yang terlalu tinggi intensitas) maka tumbuhan itu akan gagal dalam mem-per-tahankan dirinya. Dengan demikin perbedaan kemampuan dalam pembentukan klo-rofil inilah yng membedakan antara heliofita dengan siofita. Heliofita berkemampuan yang tinggi dalam pembentukan klorofilnya sehing-ga dapat tahan ditempat terbuka, dan sebaliknya siofita akan lebih efektif apabila berada di bawah naungan dan akan ga-gal apabila berada pada dae-rah terbuka. 1. f. Adaptasi tumbuhan terhadap cahaya kuat Beberapa tumbuhan mempunyai karakteristik yang dianggap sebagai adaptasi-nya dalam mereduksi kerusakan akibat cahaya yang terlalu kuat atau supraoptimal. Dedaunan yang mendapat cahaya dengan intensitas yang tinggi kloroplas berbentuk cakram, posisinya sedemikian rupa sehingga cahaya yang diterima hanya oleh din-ding vertikalnya. Bahkan pada beberapa jenis tertentu letak daun secara keseluruhan sering tidak berada dalam keadaan horisontal, hal ini untuk menghindar dari arah ca-haya yang tegak lurus pada permukaan daun dan ini berarti mengurangi kuat cahaya yang masuk. Berkurangnya kadar klorofil pada intensitas cahaya yang tinggi mengan-dung aspek yang menguntungkan, cahaya yang diserap atau di absorbsi akan mem-pertinggi energi yang di ubah menjadi panas akibat efisiensi ekologi yang rendah. Hal ini tidak saja mengganggui keseimbangan air tetapi juga akan mengganggu keseim-bangan fotosintesis dengan respirasi dalam tumbuhan. Telah banyak dipelajari bahwa umumnya tumbuhan tropika intensitas cahaya yang diterima mempunyai hubungan langsung dengan kadar anthocyanin. Pigmen ini yang biasanya terletak pada lapisan permukaan dari sel berperan sebagai pemantul cahaya sehingga menghambat atau mengurangi penembusan cahaya ke jaringan yang lebih dalam. Pigmen-pigmen yang berwarna merah ini akan memantulkan terutama cahaya merah yang berkadar panas. Dengan dipantulkannya cahaya merah ini maka akan mereduksi kemungkinan keru-sakan-kerusakan sel sebagai akibat pemanasan. Ternyata suhu di bawah lapisan ber-warna merah dari suatu buah mempunyai suhu lebih rendah jika dibandingkan dengan bagian lainnya yang berwarna hijau. Beberapa ganggang yang bebas bergerak akan menghindar dari cahaya yang terlalu kuat dengan jalan pergerakan secara vertikal, bermigrasi kedalaman air. 1. g. Lamanya penyinaran Lamanya penyinaran relatif antara siang dan malam 24 jam akan mempengaruhi fungsi dari tumbuhan secara luas. Jawaban dari organisme hidup tehadap lamanya si-ang hari dikenal dengan fotoperiodisma. Dalam pertumbuhan jawaban/respon ini meliputi perbungaan, jatuhnya daun dalam dormansi. Di daerah sepanjang khatulistiwa lamanya siang hari atau fotoperioda akan konstan sepanjang tahun, sekitar 12 jam pada musim panas, tetapi akan kurang dari 12 jam pada musim panas, tetapi akan kurang dari 12 jam pada musim dingin. Perbedaan yang terpanjang antara siang dan malam akan ter-jadi di daerah dengan garis lintang tinggi. Berdasarkan respon ini, tumbuhan berbunga dapat dikelompokan dalam tiga kelompok besar, yaitu: a. Tumbuhan berkala panjang, yaitu tumbuhan yang memerlukan lamanya siang lebih dari 12 jam untuk terjadinya proses perbungaan. Berbagai tumbuhan tem-perate termasuk kelompok ini, seperti macam-macam gandum (Wheat dan Barley) dan bayam. b. Tumbuhan berkala pendek, kelompok tumbuhan yang memerlukan lamanya siang lebih pendek dari 12 jam untuk terjadinya proses perbungaan, dalam ke-lompok ini termasuk tembakau dan bunga krisan. c. Tumbuhan berhari netral, yaitu tumbuhan yang tidak memerlukan perioda pan-jang hari tertentu untuk proses perbungaan, misal tomat dan dandelion. Reaksi tumbuhan berskala panjang dan berskala pendek membatasi penye-baran secara longitudinal sesuai dengan kondisi fotoperiodenya. Apabila beberapa tumbuhan terpaksa hidup di tempat yang kondisi fotoperiodenya tidak optimal, maka pertumbuhannya akan bergeser pada pertumbuhan vegetatif. Misalnya bawang merah (tumbuhan berkala pendek), akan menghasilkan bulbus/ umbi lapisnya yang besar apabila ditumbuhkan di daerah dengan fotoperiode yang panjang, hal ini memberikan arti ekonomi tertentu dan banyak dilakukan oleh pakar holtikultura. Di daerah khatulisti-wa tingkah laku tumbuhan sehubungan dengan fotoperiode ini tidaklah menunjukkan adanya pengaruh yang mencolok. Tumbuhan akan tetapi aktif dan berbunga sepanjang tahun asalkan faktor-faktor lainnya, dalam hal ini suhu, air, dan nutrisi, tidak merupakan faktor pembatas. 2. SUHU Suhu merupakan faktor lingkungan yang dapat berperan baik langsung maupun tidak langsung terhadap organisme hidup. Berperan langsung hampir pada setiap fungsi dari tumbuhan dengan mengontrol laju proses-proses kimia dalam tumbuhan tersebut, sedangkan peran tidak langsung de-ngan mempengaruhi faktor-faktor lainnya terutama suplai air. Suhu akan mempengaruhi laju evaporasi dan menyebabkan tidak saja keefektifan hujan tetapi juga laju kehilangan air dari organisme hidup. Sebenarnya sangat sulit untuk memisahkan secara mandiri pengaruh suhu sebagai faktor lingku-ngan. Misalnya energi cahaya mungkin diubah menjadi energi panas ketika cahaya diabsorbsi oleh suatu substansi. Tambahan lagi suhu sering berperan bersamaan dengan cahaya dan air untuk mengontrol fungsi-fungsi organisme. Relatif mudah untuk mengukur suhu dalam suatu lingkungan tetapi sulit untuk menentukan suhu yang bagai-mana yang berperan nyata, apakah keadaan minimum, maksimum atau keadaan harga rata-ratanya yang penting. 2. a. Suhu dan tumbuhan Kehidupan di muka bumi berada dalam suatu batas kisaran suhu antara 0ºC sampai 30ºC, dalam kisaran suhu ini individu tumbuhan mempunyai suhu minimum, maksimum, dan optimum yang diperlukan untuk aktivitas metabolismenya. Suhu yang diperlukan organisme hidup dikenal dengan suhu kardinal. Suhu tumbuhan biasanya kurang lebih sama dengan suhu sekitarnya karena adanya pertukaran suhu yang secara terus menerus antara tumbuhan dengan udara sekitarnya. Kisaran toleransi suhu bagi tumbuhan sangat bervariasi, untuk tanaman di tropika, semangka, tidak dapat mento-leransi suhu dibawah 15º -18º. Sebaliknya konifer di daerah temperatur masih bisa men-toleransi suhu sampai serendah minus 30ºC, tumbuhan air umumnya mempunyai ki-saran toleransi suhu yang lebih sempit bila di bandingkan dengan tumbuhan di daratan. Secara garis besar semua tumbuhan mempunyai kisaran toleransi suhu yang berbeda tergantung pada umumnya. Keseimbangan air dan juga keadaan musim. 2. b. Variasi Suhu Sangat sedikit tempat-tempat dipermukaan bumi secara terus menerus berada dalam kondisi terlalu panas atau terlalu dingin untuk sistem kehidup-an, suhu biasanya mempunyai variasi baik secara ruang maupun secara waktu. Variasi suhu ini berkaitan dengan garis lintang, dan sejalan dengan ini juga terjadi variasi lokal berdasarkan topo-grafi dan jarak dari laut. Terjadi juga variasi dari suhu ini dalam ekosistem, misalnya dalam hutan dan ekosistem perairan. Perbedaan yang nyata antara suhu; pada permu-kaan kanopi hutan dengan suhu dibagian dasar hutan akan terlihat dengan jelas. Demikian juga perbedaan suhu berdasarkan kedalaman air. Seperti halnya de-ngan faktor cahaya, letak dari sumber panas (matahari), bersama-sama dengan berpu-tarnya bumi pada porosnya akan me-nimbulkan variasi suhu dialam tempat tumbuhhan hidup. Jumlah panas yang diterima bumi juga berubah-ubah setiap saat tergantung pada lintasan awan, bayangan tumbuhan setiap hari, setiap musim, setiap tahun dan gejala ekologi. Begitu matahari terbit pagi hari, permukaan bumi mulai memperoleh lebih banyak panas dibandingkan dengan yang hilang karena radiasi panas bumi, de-ngan demikian suhu akan naik dengan cepat. Setelah beberapa jam tercapailah suhu tertinggi setengah hari. Setelah lewat petang mulailah terjadi penurunan suhu muka bumi ini akibat radiasi yang lebih besar dibandingkan radiasi yang diterima. Pada ma-lam hari penurunan suhu muka bumi akan bertambah lagi, panas yang diterima melalui radiasi dari matahari tidak ada, sedangkan radiasi berjalan terus, akibat ada kemung-kinan suhu permukaan bumi lebih ren-dah dari suhu disekitarnya. Proses ini akan menimbulkan fluktuasi suhu harian, dan fluktuasi suhu yang paling tinggi akan terjadi didaerah antara ombak, ditepi pantai. Berbagai karakteristik muka bumi penyebab variasi suhu: a) Komposisi warna dan tanah, makin terang warna tanah makin banyak panas dipan-tulkan, makin gelap warna tanah makin banyak panas diserap. b) Kegemburan dan kadar air tanah, tanah yang gembur lebih cepat memberikan res-pon pada pancaran panas dari pada tanah yang padat, terutama erat kaitannya dengan penembusan dan kadar air tanah, makin ba-sah tanah makin lambat suhu berubah c) Kerimbunan tumbuhan, pada situasi dimana udara mampu bergerak dengan be-bas maka tidak ada perbedaan suhu antara tempat terbuka dengan tempat tertutup vegetasi. Tetapi kalau angin tidak berhembus keadaan akan sangat berlainan, de-ngan kerimbunan yang rendah sudah mampu mereduksi pemanasan tanah oleh pemancaran sinar matahari. Ditambah lagi kelembaban udara dibawah kerim-bunan tumbuhan akan menambah banyaknya panas yang dipakai untuk pemanas-an uap air. Akibatnya akan menaikan suhu udara. Pada malam hari panas yang di-pancarkan kembali oleh tanah akan tertahan oleh lapisan kanopi, dengan demikian fluktuasi suhu dalam hutan sering jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan fluktuasi suhu ditempat terbuka atau tidak bervegetasi. d) Iklim, mikro perkotaan, perkembangan suatu kota menunjukan adanya pengaruh iklim. Asap dan gas yang terdapat diudara kota sering mere-duksi radiasi. Partikel-partikel debu yang melayang diudara merupakan inti dari uap air dalam proses kondensasinya, uap air inilah yang bersifat aktif dalam mengurangi pengaruh radi-asi matahari tadi. e) Kemiringan lereng dan garis lintang, kemiringan lereng sebesar 50 dapat mereduk-si suhu, sebanding dengan 45 km perjalanan kekutub. Variasi suatu berdasarkan waktu atau temporal terjadi baik musiman maupun harian, semua variasi ini akan mempengaruhi penyebaran dan fungsi tumbuhan. 2. c. Pengaruh Suhu terhadap Tumbuhan Seluruh reaksi kimia pada proses fisiologi dan metabolisme dipengaruhi oleh suhu. Reaksi kimia berlangsung lebih cepat dengan kenaikan suhu. Pada kisaran suhu tertentu, reaksi kimia berlangsung dua kali lebih cepat pada kenaikan suhu udara 100C (hukum Van’t Hoff). Suhu berpengaruh terhadap katalisator yakni berbagai macam enzim dalam tubuh tumbuhan enzim dan senyawa protein rusak akibat suhu terlalu ting-gi atau terlalu rendah. Enzim akan mengendap dan kehilangan kemampuannya untuk mempercepat reaksi. Setiap tumbuhan memiliki kisaran suhu, dimana proses-proses fisiologi tumbuhan berlangsung cepat dan cepat. Terdapat tiga rangkaian suhu, yakni suhu minimum, suhu optimum dan suhu maksimum yang sangat berpengaruh terhadap laju proses fisiologis dan metabolisme. Rangkaian suhu tersebut disebut suhu kardinal (cardinal temperature). Dibawah suhu minimum tumbuhan berhenti tumbuh, pertum-buhan cepat dan lancar terjadi pada suhu optimum tumbuhan menjadi tidak aktif. Suhu kardinal tanaman budidaya tropis seperti sorghum adalah 16 - 47ºC. Sedangkan suhu kardinal tanaman budidayadaerah iklim sedang adalah 2 - 34ºC (Jen Hu Chang, 1968). Contoh tanaman daerah iklim sedang (temperate) adalah gandum, barley dan Oats. Dengan demikian suhu menentukan komunitas tumbuhan dan macam speciesnya. Suhu udara yang terlalu tinggi atau terlalu rendah akan mengakibatkan kerusakan (inyury) pada tumbuhan. Kerusakan tumbuhan akibat suhu yang terlalu tinggi adalah: a. Organ dan jaringan tumbuhan mengering b. Protoplasma rusak karena terurai sehingga berhenti berfungsi c. Ketidakseimbangan fotosintesis dan respirasi, sehingga hasil fotosin-tesis “habis dibakar” dan kurang untuk respirasi d. Enzim dan senyawa protein lainnya menjadi tidak aktif Suhu udara yang terlalu dingin yaitu dibawah suhu minimum, akan terjadi hal-hal sebagai berikut: a. Enzima dan protein menjadi kental dan mengendap sehingga kehilangan reakti-fitasnya b. Terbentuk kristal es didalam protoplasma, sehingga seluruh proses seluler ter-henti, bahkan terjadi kematian organ-organ selnya c. Terbentuk kristal es di ruang-ruang antar sel, banyak sel yang bersebelahan pecah dinding selnya dan sel kemudian mati. Kerusakan akibat suhu yang terlalu rendah dan terjadi dengan tiba-tiba sering terjadi di lintang diatas 24º dan disebut frost (Daubenmire).Adap-tasi tumbuhan terha-dap suhu, secara evolutif tumbuhan yang memiliki sifat-sifat toleran terhadap suhu ekstrim “terseleksi” dan populasinya makin membesar. Bentuk morfologi tumbuhan yang mampu mengfhindari suhu tinggi antara lain: Daun berukuran kecil dan tipis helainya, guna meningkatkan transpirasi agar daun bersuhu lebih rendah dari pada udara di sektarnya. Orientasi helai daun vertikal searah dengan kedatangan sinar. Permukaan daun berwarna putih untuk memantulkan sinar, kulit batang tebal dan bergabus. Protoplasma berkadar air rendah, sehingga pontesi osmosa jadi tinggi.Adaptasi tumbuhan terhadap suhu rendah dan upaya pence-gahan kerusakan akibat suhu rendah antara lain : a. Sel-sel yang ada dipermukaan dilapisi lilin (Wax) yang tebal dan sering padat di-tumbuhi bulu (pubescence) b. Sel-sel berukuran kecil, c. Protoplasma bervikositas rendah (encer), kandungan molekul air rendah, kadar protein-lipid-gula tinggi dan tekanan osmosis rendah. d. Laju pertumbuhan vegetatif rendah. 2. d. Suhu dan Produktivitas Laju respirasi dan fotosintesis dari tumbuhan haruslah terjadi sedemi-kian rupa sehingga terdapat produktivitas bersih. Untuk tumbuhan umumnya suhu optimum un-tuk respirasi lebih tinggi dari suhu optimum untuk fotosintesis. Diatas suhu tertentu respirasi akan melebihi fotosintesis, maka akan terjadi kelaparan bagi tumbuhan ter-sebut. Hal inilah yang berperan dalam membatasi penyebaran tumbuhan di daerah dingin ke arah hangat. 2. e. Thermoperiodisma Thermoperiodisma merupakan jawaban dari tumbuhan terhadap situasi suhu yang bersifat ritmik. Hal ini dapat terjadi baik secara musim atau harian. Tumbuhan yang biasanya hidup pada tempat-tempat dengan suhu yang berfluktuasi berkecen-derungan akan mengalami gangguan apabila ditumbuhkan pada tempat suhu yang konstan. Kebanyakan tumbuhan akan tumbuh baik bila suhu lingkungan berubah-ubah, misalnya, tomat mempunyai laju pertumbuhan optimum bila berada pada tempat de-ngan suhu siang 25ºC dan suhu malam sekitar 10ºC. Fluktuasi suhu ini menghasilkan keseimbangan opimum antara respirasi dengan fotosintesis. Beberapa jenis tumbuhan memerlukan suhu malam hari dibawah suhu mini-mum untuk terjadinya pembungaan. Dan pada beberapa tumbuhan fluktuasi teratur diperlukan untuk perkecambahan. Thermoperiodisma membatasi penyebaran tumbuh-an baik berdasarkan garis lintang maupun ketinggian tempat. 2. f. Suhu dan Dormansi Tumbuhan Dormansi tidak saja terjadi pada tumbuhan yang hidup pada lingkungan yang dingin, tetapi pada tumbuhan yang hidup di daerah iklim hangat. Tumbuhan ditropika sering mempunyai fase dorman yang tidak ada kaitan-nya dengan suhu. Diperkirakan bahwa fenomena ini telah memungkingkan nenek moyang pohon-pohon temperata berasal dari berimigrasinya dari tropika ke temperata. Sebagai gejala umum dormansi diinduksikan dalam tumbuhan ditemperata sebagai jawaban terhadap fotoperioda. Tetapi fasa dorman dari tumbuhan akan dipecahkan oleh suhu yang dingin, gejala ini disebut vernalisasi. Bila tidak cukup dingin untuk memecahkan masa dorman maka tumbuhan tidak mampu untuk hidup lagi. Kebanyakan pohon dan perdu di daerah Inggris, misalnya, memerlukan antara 200 sampai 300 jam di bawah suhu 9ºC untuk tujuan penyilangan. Tanaman bianual se-perti beet dan seledri menghasilkan daun dan umbi dalam musim tumbuh pertama dan berbunga pada musim tumbuh kedua. Dengan memanfaatkan suhu dingin buatan sik-lus hidup akan terjadi secara lengkap hanya dalam satu tahun. 2. g. Masa / Musim Pertumbuhan Masa / musim pertumbuhan adalah suatu periode waktu ketika semua kondisi lingkungan yang diperlukan untuk tumbuh berada dalam keadaan memuaskan / co-cok. Suhu merupakan salah satu faktor yang paling kritis dalam menentukan panjang musim masa pertumbuhan, terutam untuk tumbuhan yang hidup di tropika faktor kese-diaan air, dalam hal ini jumlah dan lamanya hujan, merupakan faktorpenentu untuk masa/ musim pertumbuhan ini. Rata-rata suhu harian atau rata-rata suhu bulanan sering dipakai untuk menentukan masa/ musim pertumbuhan di daerah garis lintang tinggi, salah satuna adalah didasarkan pada suhu minimum pertumbuhan. 2. h. Suhu Minimum Untuk Pertumbuhan Musim pertumbuhan didefinisikan sebagai periode ketika suhu berada diatas batas ambang tertentu yang diperlukan untuk tumbuh. Batas ambang ini berlainan, dari 0ºC sampai 100ºC, tetapi umumnya dipakai 6ºC sebagai batas suhu minimum yang di-perlukan untuk pertumbuhan tanaman pertanian. Di Amerika Serikat musim pertum-buhan ini sering dibatasi oleh “hari bebas kebekuan”, yaitu jumlah dari berurutan selama suhu secara terus-menerus diatas 0ºC. Satu hal yang perlu dipahami, metode manapun dipergunakan untuk menentukan masa pertumbuhan, sampai sekarang be-lum betul-betul memuaskan. Dalam hal ini tidak diperhitungkan kenyataan atau adanya kenyataan bahwa suhu udara akan dimodifikasi oleh keadaan ling-kungan lainnya, seperti tanah, topografi, dan vegetasi. (Metode lain untuk menentukan masa/ musim pertumbuhan diantaranya adlah berdasarkan suhu terakumulasi dan unit fototermal, Emberlin,1983) 3. AIR Air merupakan faktor lingkungan yang sangat penting, semua organisme hidup memerlukan kehadiran air ini. Perlu dipahami bahwa jumlah air disistem bumi kita ini adalah terbatas dan dapat berubah-ubah akibat proses sirkulasinya. Pengeringan bumi sulit untuk terjadi karena adanya siklus melalui hujan, aliran air, transpirasi, dan evapo-rasi yang berlangsung secara terus-menerus.Bagi tumbuhan air adalah penting karena dapat langsung mem-pengaruhi kehidupannya. Bahkan air sebagai bagian dari faktor iklim yang sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perubahan struktur dan or-gan tumbuhan. 3. a. Peranan air bagi tumbuhan di bawah ini : Struktur Tumbuhan :air merupakan bagian terbesar pembentuk jaringan dari semua makluk hidup ( tak terkecuali tumbuhan). Antara 40% sampai 60% dari berat segar pohon terdiri dari air, dan bagi tumbuhan herbal jumlahnya mungkin akan men-capai 90%. Cairan yang mengisi sel akan mampu menjaga substansi itu untuk berada dalam keadaan yang tepat untuk ber-fungsi metabolisme. Sebagai Penunjang :tumbuhan memerlukan air untuk penunjang jaringan-jaringan yang tidak berkayu. Apabila sel-sel jaringan ini mempunyai cukup air maka sel-sel akan berada dalam keadaan kukuh. Tekanan yang diciptakan oleh kehadiran air di dalam sel disebut tekanan turgor dan sel akan menjadi mengembang, dan apabila jumlah air tidak memadai maka tekanan turgor berkurang dan isi sel akan mengkerut dan terjadilah plasmolisis. Alat Angkut : tumbuhan memanfaatkan air sebagai alat mengangkut materi disekitar tubuhnya. Nutrisi masuk melalui akar dan bergerak kebagi-an tumbuhan lainnya sebagai substansi yang terlarut dalam air. Demikian pula karbohidrat yang dibentuk di daun diangkut ke jaringan-jaringan lain-nya yang tidak berfotosintesis dengan cara yang sama. Pendingin :kehilangan air dari tumbuhan oleh transpirasi akan mendinginkan tubuhnya dan menjaga dari pemanasan yang berlebihan. Putaran permenit selama 30-40 menit. 3. b. Masuknya Air dalam Tumbuhan Tumbuhan umumnya menyerap air tanah oleh sistem akarnya, meskipun pada beberapa tumbuhan sederhana tetapi lumut kerak dan lumut daun mampu menyerap air dari sekitarnya secara langsung. Air memasuki akar melalui bulu-bulu akar yang sangat halus yang berada sekitar 6 mm setelah tudung akar. Sistem bulu akar ini mem-perluas permukaan aktif yang mampu menyerap air, dan secara terus menerus diper-baharui sesuai dengan per-tumbuhan akar menembus tanah 3. c. Pergerakan Air dalam Tumbuhan Dalam tumbuhan paku-pakuan dan spermatofita air, bergerak melalui jaringan khusus yang disebut xylem, yang strukturnya sangat berbeda-beda tergantung pada pengelompokannya, yang secara umum bersamaan dengan bentuk tabung. Air dido-rong naik sebagian akibat daya kapiler, tetapi seba-gian basar bergerak naik akibat perbedaan tekanan antar daun dengan yang akan menghasilkan aliran yang terus-me-nerus melalui tumbuhan. Dalam tum-buhan yang tidak mempunyai jaringan xylem air diangkut keseluruh tubuh oleh proses osmosis. 3. c. Bagaimana Air meninggalkan tumbuhan Umumnya air yang masuk ketanah dan tumbuhan akan hilang melalui proses penguapan, dan hanya 2% air yang diserap oleh akar dipakai membentuk lebih ba-nyak materi tumbuhan. Pada prinsipnya air akan meninggalkan tumbuhan melalui tiga cara: Transpirasi : yaitu bagian yang paling utama dari kehilangan air ini. Dalam daun air diuapkan dari dinding sel keruang antar sel. Dari sini didifu-sikan keluar ke udara melalui lubang kecil di daun yang disebut stomata / mulut daun. Mulut-mulut daun ini akan terbuka pada siang hari dan menutup pada malam hari. Fungsi utama adalah memberi kemungkinan untuk terjadi-nya pertukaran gas antara tumbuhan dengan udara. Penguapan kutikula: sebagian air mungkin mampu menguap melalui kutikula dari daun atau tangkai. Dan hanya sebagian kecil air hilang dengan cara ini, umumnya kurang dari 10% dari total kehilangan air. Gutasi : di daerah yang lembab kehilangan air akibat penguapan terlalu sulit. Untuk tumbuhan yang hidup pada habitat ini mempunyai lubang pada ujung xylem dari daun sebagai adaptasi morfologi dan fisiologi. Lubang ini lebih dikenal dengan hitoda, yang memungkinkan air menetes langsung keluar dari daun yang disebut gutasi. 3. d. Laju Kehilangan Air Jumlah air yang diperlukan oleh tumbuhan dan konsekuensinya daya toleransi terhadap lingkungan adalah ditentukan utamanya oleh laju kehilangan air, yang harga-nya tidak saja dipengaruhi oleh kondisi lingkungan tetapi juga oleh keadaan tumbuhan itu sendiri. 3. e. Kondisi lingkungan Faktor-faktor lingkungan seperti suhu, kelembapan udara, dan angin kesemua-nya berperan terhadap laju penguapan dan mempengaruhi jumlah air yang hilang dari tumbuhan. 3. f. Ukuran dan Struktur Tumbuhan Ukuran Tumbuhan : umumnya tumbuhan yang besar memerlukan lebih banyakair dari pada tumbuhan kecil pohon Quercus misalnya menguapkan 675 L air, sedang-kan jagung hanya menguapkan 2,5 L air selama musim panas di daerah temperata. Ukuran Daun : umumnya didaerah lembab yang mempunyai laju penguapan rendah daun-daun menjadi besar untuk mendukung transpirasi, sedangkan daun-daun tumbuhan didaerah kering berukuran kecil-kecil untuk mengurangi penguapan. Jumlah dan ukuran stomata : rapatan dan ukuran stomata sangat berlainan untuk setiap jenis tumbuhan. Transpirasi pada dasarnya akan lebih efisien pada daun dengan ukuran stomata kecil tapi banyak jumlahnya dari pada daun dengan stomata besar tapi sedikit jumlahnya. Tumbuhan yang teradaptasi untuk hidup di daerah kering biasanya mempunyai stomata dengan jumlah sedikit, bahkan pada daerah kering ini stomata tumbuhan ter-buka pada malam hari dan tertutup pada siang hari dengan tujuan mengurangi kehi-langan air akibat transpirasi. 3. g. Kekurangan dan Kelebihan Air Di lingkungan daratan dengan situasi kelebihan air maka tanah menjadi jenuh air, permasalahan utama pada situasi seperti ini adalah tidak adanya udara dalam tanah sehingga perakaran tumbuhan tidak bisa bernafas dan juga tanah sering menjadi asam. Jika jumlah air tidak memadai untuk keperluan tumbuhan maka sel menjadi lembek, dan stomata menutup untuk mengurangi kehilangan air berkelanjutan. Kondisi air tanah seperti ini dikenal dengan titik kelayuan, dan sel-sel tumbuhan mulai untuk terjadinya plasmolisis yang biasanya berjalan berkepanjangan. Dan apabila situasi kekurangan air ini terus menerus maka tumbuhan akan mati. Umumnya tumbuhan yang berada di dae-rah kering ini berada dalam keadaan setengah dehidrasi pada siang hari yang diim-bangi dengan penyimpanan dalam kese-imbangan airnya pada malam hari. 3. h. Efisisensi Transpirasi Jenis tumbuhan yang berbeda memerlukan jumlah air yang berbeda pula untuk pertumbuhannya. Perbandingan antara produktifitas bersih dengan air yang ditrans-pirasikan merupakan efisiensi transpirasi dari tumbuhan. Biasanya dinyatakan sebagai berat air yang ditranspirasikan dalam gram untuk menghasilkan 1 gram berat organik kering. Misalnya, efisiensi transpirasi dari gandum adalah 507, tentang 408, dan tanam-an di daerah kering 250. 3. i. Adaptasi Tumbuhan Terhadap Kondisi Ekstrim Kekeringan merupakan situasi yang sering dialami oleh tumbuhan, meskipun dipahami bahwa hujan bukanlah satu-satunya faktor yang dapat menimbulkan suhu tinggi bisa juga memberikan pengaruh kekurangan air ini. Bila musim kering itu bersifat periodik dan merupakan karakteristik daerah, maka tumbuhan yang berada di daerah itu akan memperlihatkan penye-suaian dirinya, berbagai cara penyesuaian ini tergan-tung pada tumbuhan itu. Umumnya memperlihatkan reduksi dari daun dan bahan, memperpendek siklus hidup atau biji matang atau dekat permukaan, rambut akar ber-tambah banyak, sel kutikula menebal, dinding sel mengandung banyak ikatan lipid. Jaringan polisade berkembang lebih baik tetapi sebaliknya dengan bunga karang, sel dan ruang antarsel mengecil tetapi jaringan lignin membesar. Kecepatan fotosintesis, tekanan osmosa dan permeabilitas protoplasma meninggi dan diikuti dengan penurun-an viskositas protoplasma, akibat perbandingan tepung dan gula menjadi besar, ber-bagai usaha untuk mengatasi air atau mengurangi kebutuhan air bagi tumbuhan: Memperbaiki keadaan lingkungan a. Menambah jumlah air dengan irigasi atau mengadakan penahanan terhadap buangan air. b. Mengurangi kecepatan evapotranspirasi, dengan cara: • Pengadaan mulsa, menghambat penguapan dari tanah dengan menutupnya oleh dedaunan, ranting dan lain-lain. • Menahan kecepatan angin dengan pohon pelindung • Melakukan penjaringan • Menyiangi daun dan bagian tumbuhan lainnya • Membuang tumbuhan gulma • Memberi cairan lilin pada daun Menaikan Daya Tahan Tumbuhan Terhadap Kekeringan • Memilih jenis tumbuhan yang tahan kekeringan • Penyilangan dengan tumbuhan tahan kering • Pemberi stimulasi tahan kekeringan • Menjaga kadar N sekecil mungkin tapi memadai • Mengatur pengairan dengan jarak semakin lama, dengan maksud sistem pena-karan menembus dengan jauh kedalam tanah dan supaya terjadi perubahan protoplasma yang dapat menaikkan daya tahan terhadap kekeringan. Pengelompokan Tumbuhan Berdasarkan Toleransi Terhadap Air Berdasarkan toleransinya terhadap air, terdapat lima kelompok besar tumbuh-an, yaitu: A. Hidrofita Hidrofita : kelompok tumbuhan yang hidup dalam air atau pada tanah yang ter-genang secara permanen. Kelompok tumbuhan yang hidup sebagian atau seluruhnya didalam air atau habitat yang basah. Jadi dalam hal ini keadaan air dalam kondisi ber-lebihan, dan tumbuhan yang hidup mempunyai karakteristika yang khusus, seperti ter-dapatnya jaringan lakuner terutama pada daun dan akar yang berperan dalam meme-nuhi kebutuhan akan udara sebagian adaptasi terhadap kekurangan oksigen. Berdasar-kan karakteristiknya dikenal 4 sub kelompok hidrofita, yaitu: a. Hidrofita tenggelam dan tertanam pada substrat :mempunyai epidermis yang tidak berkutikula, daun dan cabang akar tereduksi dalam ukuran dan ketebalan. Ber-kembangbiak biasanya secara vegetatif. Contoh: Vallesneria dan Elodea dll b. Hidrofita terapung : mampu berkembang biak secara cepat sehingga dalam waktu yang singkat dapat menutupi seluruh permukaan perairan. Bila terjadi reproduksi seksual maka penyerbukan terjadi pada atau diatas permukaan. Contoh: Lemma, Eichornia, dan Salvia dll. c. Hidrofita semi terapung : memiliki akar tertanam dalam substrat, dengan batang, akar dan tuber yang panjang. Daun sering tertutup. Akar cepat tumbuh dalam lum-pur, daun memperlihatkan variasi yang berbeda, baik bentuk maupun struktur, antara yang mencuat ke udara dengan yang terendam dalam air. Contoh: Acorus dan Typhadll d. Hidrofita melayang : merupakan fitoplankton, mampu menyerap nutrisi langsung dari air. Contoh: Oscillatoria dan Spirogyra dll B. Halofita Halofita merupakan kelompok tumbuhan yang terkhususkan tumbuh pada ling-kungan berkadar garam tinggi (kekeringan fisiologi). Tumbuhan yang hidup dalam kadar garam yang tinggi, mempunyai mekanisme untuk menerima garam yang masuk dalam tubuhnya. Halofita harus mampu meng-atasi masalah kekeringan fisiologi. Ting-ginya konsentrasinya garam dalam tanah mungkin menghambat penyerapan air secara osmosis. Pada rawa pantai halofita berada dalam kekeringan saat surut, dan pengaruh kekurangan air dapat diimbangi dengan penyimpanan air dalam tubuhnya sehingga bentuk halofita ini sering memperlihatkan sifat sukulen. Contoh: Achantus ilicifolius dan berbagai tumbuhan di rawa estuaria. C. Xerofita Xerofita merupakan kelompok tumbuhan yang beradaptasi untuk hidup di dae-rah kering, tumbuhan ini tahan terhadap kekeringan yang lama, baru layu bila kehi-langan 50–75 % kandungan total air. Tumbuhan ini telah teradaptasi untuk daerah ke-ring, sangat sedikit jumlahnya dan lebih terkhususkan jika dibandingkan dengan ke-lompok lainnya. Xerofita ini dapat dikelompokkan dalam dua sub kelompok besar, yai-tu kelompok yang menghindar terhadap kekeringan (xerofita tidak murni), dan kelom-pok yang memikul atau menehan situasi kering (Xerofita asli). Penghindar terhadap kekeringan mencegah kekeringan dengan jalan melakukan adaptasi dalam siklus hi-dup, morfologi, dan fisiologi. 1. Epemeral. Merupakan umumnya tumbuhan dipadang pasir dengan siklus hidup dan tum-buhan mulai dari biji sampai fase reproduksi dalam beberapa minggu selama jumlah air mencukupi, biasanya biji di lapisi zat pelindung dan tahan terhadap kekeringan yang akan terlarut pada musim hujan sebelum berkecambah. 2. Sukulenta Merupakan tumbuhan perental,menghindar dari kekeringan dengan menyim-pan sejumlah air dalam jaringanya dan mereduksi kehilangan air.air dapat di-simpan mungkin didaun seperti pada Agave,ditangkai atau dahan pada Cacta-ceae dan Euphorbiaceae, atau di batang pada Bombacaeae. Pada semua suku-lenta bentuk morfologinya ini mempuyai kemampuan untuk mengurangi kehi-langan air dari tumbuhan akibat transpirasi stomata dan ruang antar sel sangat sedikit, daun reduksi dalam ukuran lapisan kutikula yang tebal 3. Freatofita Sering di kenal dengan tumbuhan penyedot air, karena laju traspirasinya yang tinggi dan mampu menghindar dari kekeringan karena kemampuanya mencari dan mendapatkan air. Strateginya tidak untuk menjaga air tetapi akar yang sa-ngat panjang yang mampu mencapai lapisan freatik yang dalam dari air tanah, menyerapnya dengan tekanan osmotik yang tinggi dari akarnya. 4. Xerofita Tumbuhan yang tahan kekeringan merupakan xerofita sejati, dan biasanya be-rupa semak yang memperoleh air dari tanah yang relatif kering. Caranya de-ngan mengadakan tekanan devisit yang cukup tinggi dalam sel-sel daun dan akar. Biasanya juga mengurangi transpirasi dengan bentuk daun yang kecil te-tapi kuat. D. Mesofita Mesofita, kelompok tumbuhan yang bertoleransi pada kondisi tanah yang mo-derat (tidak dalam keadaan ekstrim).Umumnya tumbuhan darat, termasuk tanaman pertanian, perakaran bercabang banyak dan terbentuk sempurna, stomata daun ba-nyak di permukaan bawah helaian daun, dan layu bila kehilangan total airnya 25%. 4. ANGIN Angin merupakan pergerakan udara dan timbul akibat pemanasan yang tetap dari udara dalam hubungannya dengan permukaan bumi, serat perputaran bumi pada porosnya (Skith, 1974). Udara panas menjadi lebih ringan dan naik keatas akibat tekanan yang rendah. Keadaan ini akan segera dig anti oleh udara dingin dan berat yang bertekanan tinggi. Pergerakan mendatar dari bagian udara yang dingin ini yang menggantikan masa udara yang lebih panas disebut angin. Dalam hal ini angin akan menserkulasi oksigen, karbon dioksida, dan uap air. Secara umum angin berfungsi dalam mengangkut udara dingin atau hangat, menggerakkan awan dank abut, mencampurkan udara sehingga perubahan suhu tidak terlalu mencolok. Dan mempengaruhi tumbuhan secara langsung maupun tidak langsung. Fungsi Angin : 1. Mengangkut udara dingin atau hangat 2. Menggerakan awan dan kabut 3. Mencampurkan udara sehingga perubahan suhu tidak terlalu menco-lok 4. Mempengaruhi tumbuhan secara langsung ataupun tidak langsung Faktor Terjadinya Angin Faktor terjadinya angin, yaitu : Gradien Barometris, letak tempat tersebut, ke-tinggian tempat tersebut, dan waktu. Gradien Barometris adalah bilangan yang menunjukkan perbedaan tekanan udara dari 2 isobar yang jaraknya 111 km. Makin besar gradien barometrisnya angin semakin cepat. Letak Tempat kecepatan angin di dekat khatulistiwa lebih cepat dari lainnya. Sebaliknya yang jauh dari garis khatulistiwa lebih lambat. Tinggi Tempat. Semakin tinggi tempat, semakin kencang pula angin yang bertiup. Waktu Di siang hari angin bergerak lebih cepat daripada di malam hari. Pengaruh angin secara langsung bagi tumbuhan a. Daerah Garis lintang menengah dan tinggi. Kombinaasi angin dengan kebe-kuan akan menyebabkan penumpukan es pada tumbuhan yang akan mengaki-batkan rusak sampai runtuhnya tumbuhan tadi b. Daerah pantai. Kombinasi angin dan partikel garam akan membatasi pertum-buhan berbagai jenis tumbuhan yang tidak tahan terhadap silinitas yang tinggi. c. Daerah perbukitan, pergunungan, daratan. Angin yang kuat membatasi pertum-buhan tanaman dan menyebabkan kerusakan fisik. Bentuk yang tidak normal dan struktur tumbuhan akibat angin sering terjadi. Pengaruh angin secara langsung bagi tumbuhan. Angin yang kuat mungkin membatasi pertumbukan tanaman dan mengaki-batkan kerusakan fisik. Bentuk yang tidak normal dari struktur tumbuhan akibat angin sering terjadi pada tempat – tempat terbuka diperbukitan, pegunungan pada daerah gegernya dan juga dipedataran. Di daerah garis lintang menengah dan tinggi, kombi-nasi angin dengan kebekuan akan menyebabkan penumpukan es pada tumbuhan yang akan mengakibatkan rusak sampai runtuhnya tumbuhan tadi. Di daerah pantai, kombinasi angin dan partikel garam akan membatasi pertumbuhan berbagai jenis tum-buhan yang tidak tahap terhadap silinitas yang tinggi. Pengaruh angin tidak langsung pada tumbuhan. Angin mempengaruhi transpirasi dengan bergeraknya uap air dari sekitar tumbuhan, sehingga memberikan kesempatan terjadinya penguapan lebih lan-jut. Situasi ini merupakan tekanan yang kuat bagi keseimbangan air, meskipun jumlah air dalam tanah cukup banyak. Pertumbuhan vertical akan terbatas sesuai dengan ke-mampuan mengisap dan mentransformasi air ke atas untuk mengimbangi transpirasi yang cepat, hasilnya mungkin akan membentuk tumbuhan yang kerdil. Penahan angin Untuk mengatasi pengaruh dari angin yang merusak tadi, sering dilakukan penahanan angin oleh deretan pohon sebagai windbreak atau shertelbelt. Deretan pohon ini berfungsi dalam mengurangi kecepatn angin dan mem-bantu kelembapan tanah. Secara umum penahan angin ini akanmereduksi tranpirasi dan evaporasi dll. Efek dari penahanan angin tergan-tung pada jalur hijau dan kerapatan. Penyerbukan angin Tepung sari yang akan ditiup angin akan menybar kemanamana dan tidak ter-atur dengan demikian penyerbukan ini kurang efisien dan kemungkinan jatuhnya te-pung sari pada stigma yang sejenis rendah kemungkinan/peluangnya. Biasanya untuk mengimbangi hal ini, jumlah tepung sari yang dihasilkan untuk diterbangkan angin sangat banyak. Di ala mini ternyata banyak tumbuhan dalam proses penyerbukannya memakai angin sebagai medium, terutama Coniferae, Poales, Ranales, Glumiferae, dan Amantiferae. Ciri-ciri morfologi tumbuhan yang teradaptasi untuk penyerbukan angin, mi-salnya : • Bunga yang kecil dengan perhiasan bunga kurang baik pertumbuhannya. • Stamen panjang dan stigma berbulu serta terbuka letaknya. • Bunga biasanya uniseksual dan sering terletak pada bagian atas dari tumbuhan sehingga tidak terhalang. • Tepung sari kering dan ringan serta jumlahnya yang banyak sekali dan kadang-kadang mengandung semacam zat perekat pada bagian eksinnya. Pengaruh angin tidak langsung bagi tumbuhan. Angin mempengaruhi transpirasi dengan bergeraknya uap air dari sekitar tum-buhan, sehingga memberikan kesempatan terjadinya penguapan lebih lanjut. Situasi ini merupakan tekanan yang kuat bagi keseimbangan air, meskipun jumlah air dalam tanah cukup banyak. Pertumbuhan vertikal akan terbatas sesuai dengan kemampuan menghisap dan mentransformasikan air ke atas untuk mengimbangi traspirasi yang cepat, hasilnya mungkin akan membentuk tumbuhan yang kerdil. Penahan Angin Untuk mengatasi pengaruh dari angin yang merusak, sering dilakukan oleh pe-nahanan angin oleh deretan pohon sebagai jalur hijau atau berfungsi sebagai Wind-break atau Shertelbelt. Deretan pohon ini berfungsi dalam mengurangi kecepatan angin dan mem-bantu menjaga kelembapan tanah. Secara umum angin ini akan mereduksi transpirasi dan evaporasi, mengurangi kerusakan oleh angin, dan mengurangi perpindahan tanah yang terangkut oleh angin. Efektifitas dari penahanan angin ini tergantung dari sistem penanaman jalur hijau dan kerapatannya. Secara umum fungsi penahan angin secara langsung dalam bidang pertanian adalah : a. Mengurangi stres pada tanaman sehingga meningkatkan pertumbuhan tanaman. b. Mengurangi kerusakan tanaman yang disebabkan oleh angin. c. Mengurangi erosi. d. Mengurangi penguapan air dari tanaman dan tanah sehingga akan menghemat air. e. Menstabilkan suhu dalam tanah; tanah tidak akan terlalu panas atau terlalu dingin. Suhu yang stabil baik bagi kesehatan akar tanaman dan hewan dalam tanah. Penyebaran biji oleh angin Angin merupakan medium yang baik untuk penyebaran migrula tumbuhan, dan merpakan proses yang efisen. Karena angin membawa migula sampai jarak yang jauh, maka secara ekologi merupakan factor yang penting. Dalam penyebaran melalui angin tumbuhan melakukan adaptasi morfologi. a. Ukuran biji sangat kecil biji yang kecil dan ringan mudah disebarkan oleh angin. Misalnya Ericeciae. b. Biji berkomosa permukaan biji diperluas dengan adanya bulu-bulu yang hampir tidak menambah berat. Dengan demikian mudah dibawa oleh angin, cara ini lebih baik dibandinkan cara yang tadi. Contohnya: Salicaceae. c. Biji bersayap, banyak tumbuhan dengan biji dengan sayap dan dapat mempenga-ruhi kecepatan untuk terbawa angin sehingga penyebarannya dapat menjangkau secara luas. Contohnya: Aceraceae. d. Buah bersayap, misalnya pterocarus e. Biji bergantung, biji tertutupi oleh stuktur yang pipih sehingga dapat berguling di tanah. Contoh: Pedaliaceae. f. Stuktur khusus seperti pada spinifex littoralis, karangan bungan yang masak lepas dan mengglundung terbawa angin sambil mengham-burkan biji yang telah masak Dalam usaha penyebaran biji oleh angin ini berbagai bentuk adaptasi morfologi dilakukan oleh tumbuhan, misalnya: a. Ukuran biji sangat kecil Orchidaceae, dan Ericeae b. Biji berkomosa Salicaceae, Aspleciadaceae c. Biji bersayap Aceraceae, Pinaceae, Bignoniaceae d. Buah bersayap Dipterocarpaceae, Pterocarpus e. Biji berkantung Chenopodiaceae, Pedaliaceae f. Struktur khusus Spinifex littoralis HUJAN Penerimaan energi oleh energi radiasi matahari oleh lautan, telaga dan rawa, akan mengerakkan dan mensirkulasi udara diatmosfir yang akan membawa serta uap air. Uap air ini dikondensasi kemudian menjadi hujan. Bersama dengan radiasi mata-hari, suhu, kelembaban udara, angin dan hujan membentuk kondisi di atmosfer ditempat dan waktu tertentu dan kejadian ini disebut cuaca (weather). Cuaca dilapisan troposfer selalu berubah-ubah. Kumpulan berbagai kondisi cuaca dalam waktu yang panjang yakni minimal 30 tahun dinamai iklim (climate). Curah hujan dengan sifat-sifatnya sangat menentukan ragam komunitas tumbuhan di berbagai ekosistem daratan (terrestrial). 1. Curah Hujan dan Komunitas Tumbuhan Sirkulasi udara global akan menentukan pola dan sifat hujan tertentu, yang akan melahirkan komunitas tumbuhan tertentu. Di khaltulistiwa curah hujan tinggi disertai dengan suhu udara yang tinggi, akan menumbuhkan komunitas hutan hujan (tropical rainforest). Di daerah tropik yakni antara lintang utara dan lintang selatan 30 derajat, akan tumbuh dan berkembang hutan tropis musiman (tropical decidous florest). Daun-daun tumbuhan musiman (decidous) akan gugur di awal musim kemarau. Daerah di sekitar lintang utara dan selatan 30 derajat, tempat turunnya angina kering akan ter-bentuk gurun yaitu tempat yang sangat jarang hujan. Selanjutnya pada daerah iklim se-dang (temperate zone) dengan udara yang basah akan menumbuhkan hutan iklim sedang musiman (temperate decidous forest). Disamping komunitas hutan itu terdapat pula padang rumput (grassland), yakni di daerah yang kurang hujan. Pada daerah per-temuan angina kutub dan angin di daerah iklim sedang, udara akan naik ke lapisan yang lebih tinggi dan mengembunkan uap air yang dikandungnya. Pada daerah itu akan tumbuh komunitas hutan cemara (Evergreen coniferius forest) yang daun-daunnya tidak gugur dengan perubahan cuaca. Pada daerah kutub utara yakni antara lain di pulau Greenland, Siberia (Rusia), bagian utara benua Amerika, terdapat padang rumput lumut yang dinamai tundra. (Tyler Miller Jr, 1992). Besar hujan yang jatuh disuatu daerah ditentukan oleh topografi permukaan bumi. Di daerah yang bergunung, terdapat perbedaan besarnya hujan jatuh. Udara yang mengandung uap air berhembus dari laut ke daratan dan lereng gunung, air akan jatuh sebagai hujan di daratan dan makin banyak di lereng gunung, karena udara naik dan suhu menjadi dingin. Selanjutnya udara yang telah melepaskan airnya akan ber-gerak melewati puncak dan turun kembali pada di balik gunung. Udara kering tersebut menyebabkan daerah di balik gunung kekurangan hujan dan membentuk komunitas gurun. Daerah di balik gunung disebut daerah bayangan hujan (rain sha-dow). Total curah hujan tahunan (annual rainfall) sangat beragam, khususnya dizona iklim khaltulistiwa dan tropic. Untuk membedakan kisaran curah hujan tahunan maka Lal (1987), mengelompokan daerah yang menerima berbagai kisaran curah hujan tahunan. Sub iklim di kedua zone tersebut rata-rata berkisar dari bawah 250 mm sampai 6000mm hujan tahunan. Curah hujan dan suhu udara menentukan komunitas dan ma-cam spesies tumbuhan, baik yang di alami maupun yang di budidayakan. Hanya sub iklim gurun yang tidak terdapat di kepulauan Nusantara. Hutan hujan tropis terdapat di sub iklim basah dan sangat basah. Air tersedia bagi tumbuhan sangat bergantung pada curah hujan, distribusinya dan suhu udara. Jumlah curah yang merata selama musim penghujan akan lebih terse-dia bagi tumbuhan, dari pada curah hujan tinggi yang jatuh pada waktu pendek. Oleh karena itu Oldeman dan Syarifuddin (1977) menyusun peta agroklimatologi untuk se-luruh kepulauan Nusantara. Pembagian zone sub-iklim didasarkan pada lama bulan basah dan bulan kering. Dengan menggunakan tanaman palawija sebagai acuan kebu-tuhan air, yakni: bulan basah adalah bulan dimana curah hujan bulanan (presipitasi) lebih besar dari pada penguapan (evapotranspirasi) tanaman dan tanah disekitarnya; sedangkan bulan kering adalah prespitasi bulan lebih kecil daripada evapotranspirasi bulanan. Bulan basah ditandai dengan presipitasi sama atau diatas 200 mm curah, dan bulan kring adalah presipitasi bulan lebih kecil daripada 100 mm. Bulan lembab yakni presipitasi bulanan antara 100 dengan 200 mm, dimana tumbuhan tetap hidup dan tum-buh karena air hujan cukup menggantikan air yang menguap dari tanaman tanah. Pengelompokan sub iklim tersebut sangat berguna untuk tujuan pengembang-an tanaman budidaya pertanian dan perkebunan. Pengelompokan sub-iklim agroklimat ini erat berhubungan dengan kelompok sub-iklim total hujan tahunan. Fluktuasi curah hujan berlangsung dari waktu ke waktu. Keragaman dalam jumlah dan waktu hujan terutama terjadi di daerahb tropis dan khaltulistiwa. Keragaman curah hujan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi biomasa ta-naman budidaya. Oleh karena evapotranspirasi tumbuhan di daerah tropis selalu tinggi, sehingga bila curah hujan berubah kecil di suatu tahun maka akan terjadi kejatuhan produksi tanaman. Keragaman curah hujan semakin besar terjadi pada daerah yang makin rendah total curah hujan tahunannya. Di Kepulauan Indonesia yang beriklim basah dan sangat basah, keragaman curah hujan dari tahun ke tahun berkisar antara 60 sampai 150% (Mohr dan Van Baren,1954). Sedangkan keragaman curah hujan di Kepu-lauan Antilles (rangkaian pulau-pulau di laut Karibia) yang beriklim lembab dan agak basah berkisar antara 20 sampai 250% (OCHSE et. al.,1961). Sifat hujan yang penting lainnya adalah intesitas, yaitu besarnya hujan yang tercurah dalam kurun waktu yang singkat. Intesitas hujan yang tinggi di daerah tropik, sedangkan di daerah iklim sedang intesitasnya rendah. Hujan dengan intensitas tinggi di sebuthujan badai (rainstorm). Umumnya hujan badai berlangsung dalam waktu pendek. Serta intensitasnya meninggi dan menjadi puncak-nya beberapa menit pertama dari mulainya hujan. Pengamatan di Ibadan (Nigeria) menunjukan intensitas curah hujan. Badai hujan biasanya berlangsung selama ± 30 menit saja (Aina et. Al., 1977 dalam Ll, 1987). Intensitas hujan dan energi curah yang dikandungnya akan mempengaruhi ukuran tetes air. Tetes-tetes air yang bear akan menimbulkan energi kinetis komulatif yang besarakibat curah hujan dengan intensitas tinggi adalah rusaknya struktur permu-kaan tanah, sehingga proses peresapan air ke dalam tanah dihambat dan terjadilah ge-rakan air permukaan yang besar sambil ,engersi lapisan tanah dipermukaan (sheet erosion).

Kamis, 07 Maret 2013